Langsung ke konten utama

Penutupan Mentoring Menulis Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Sejak 16-25 November 2022 tidak terasa waktu menunjukkan bahwa mentoring menulis dalam tajuk "Klinik Menulis" usai sudah. Hampir 2 minggu kami membersamai teman-teman dalam berproses menghasilkan tulisan. Maka malam itu tepat di hari guru kami menutup acara formal di dalam suasana rintik hujan nan syahdu.

Setelah semua berkumpul acara pun dimulai. Ustadz Saddad sebagai pembawa acara memulai dan mempersilahkan Ustadz Aziz bicara terlebih dahulu. Dalam pesannya Mas Aziz menyampaikan bahwa kawan-kawan sebenarnya sudah bisa menulis tinggal bagaimana modal tersebut dilatih terus dan jangan sampai berhenti di sini. Setelah itu tiba giliran saya untuk menyelesaikan sepatah kata mewakili mentor dan kebetulan Ustadz Wahyu berhalangan hadir karena berada di Kota Reog.




Saya menyampaikan 5 poin penting sebagai sangu bagi para peserta yaitu 1) bahwa menulis atau aktivitas apapun semua butuh proses. Jadi ingin mahir dalam menulis maka kita harus menikmati prosesnya. Menulis itu bukan simsalabim langsung jadi, maka seringlah bergelut dalam proses. Jangan percaya dengan hasil karena sudah berapa kali kita dikecewakan hasil. Lebih baik nikmati prosesnya dan hasil akan mengikuti. 2) perbanyak membaca atau (ajaklah kata-kata). Dengan banyak membaca perbendaharaan kata akan bertambah, artikulasi akan tertata dan gagasan mudah dirangkai. 3) sering berlatih menulis adalah kunci. Sekalipun mengikuti seminar kepenulisan seribu kali tapi tak pernah berlatih percuma saja. Inti dari bisa menulis adalah bukan pada banyak motivasi akan tetapi pada aksi. 4) menantang diri dengan sering mengirim tulisan ke web atau berpacu dalam lomba menulis tujuannya untuk meningkatkan kualitas diri. 5) jangan berhenti di sini karena dalam bahasa formal pelatihan ini usai tapi dalam bahasa sosial semua adalah proses yang tak ada ujungnya.

Setelah mentor memberikan laporannya kini giliran Abah Zainal memberi sambutan penutup. Beliau menyampaikan bahwa apa yang kita lakukan selama pelatihan tersebut adalah bagian dari ibadah. Karena literasi merupakan bagian dari proses berfikir maka ia lebih utama dari ibadah. Menulis sebenarnya jika diseriusi akan menjadi sesuatu yang menggiurkan contohnya JK Rowling si penulis Harry Potter. Maka jika kita cakap menulis akan jadi profesi menjanjikan, istilahnya cakap jadi cukup. Menulislah dengan penuh emosi misalnya ketika sepulang dari jalan-jalan atau menikmati alam, hal itu bisa jadi inspirasi. Beliau juga menutup sambutannya dengan, "Jadilah penulis maka abadi selamanya. Atau jadi orang yang tidak menulis tapi ditulis dan jangan sampai jadi manusia yang tidak menulis dan tidak ditulis. Atau hanya ditulis di nisannya saja".

Acara malam itu pun akhirnya usai. Tepat di momen yang sama kita juga memperingati hari guru. Maka tak disangka beberapa santri sudah menyiapkan kejutan buat Abah Zainal yaitu sebuah kue tart dan nyanyian hymne guru. Tak lupa saya pun menyumbang lagu Maha Guru dari Mayada terspesial buat malam itu. Tidak hanya hari guru kita juga memberi apresiasi berupa sertifikat dan buku kepada peserta yang telah berjuang aktif dalam pelatihan dan men-submitnya ke beberapa media nasional. Akhirnya kita pun pamit seraya mengatakan semoga tradisi literasi ini tetap lestari. Salam Literasi.

the woks institute l rumah peradaban 26/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde