Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 3 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Menulis lagi dan lagi-lagi menulis. Demikianlah kisahnya kita berjumpa lagi di mentoring menulis sesi ke-3. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat dan kita berlari begitu lambat. Akan tetapi tidak untuk disesali melainkan segera bangkit dan berdiri lagi.

Kali ini berjumpaan kita yaitu membahas seputar topik, tema, judul dan pendahuluan. Topik adalah sesuatu kata yang begitu global misalnya BBM, Teknologi dan Lingkungan. Tema adalah kata yang sudah hampir menyusun makna misalnya Kelangkaan BBM, Teknologi Tepat Guna dan Pencemaran Lingkungan. Sedangkan judul adalah kata yang menjadi kalimat dan bersifat spesifik misalnya Bioetanol Ikhtiar Pengganti BBM Bersubsidi, Mencari Titik Temu Teknologi Tepat Guna dan Upaya Mencegah Pencemaran Lingkungan dengan Reboisasi.

Pada sesi tersebut kami merasa peserta sudah memahami tinggal beberapa hal saja yang perlu menjadi catatan. Seperti tips dan trik bagaimana membuat judul yang baik yaitu: judul memiliki hal unik yang bisa dibagi pada para pembaca. Jika tidak ada keunikan untuk apa ditulis. Tapi kita juga perlu memposisikan pembaca, latar belakang dan mayoritas siapa pembacanya. Selain itu judul harus memiliki tawaran berupa gagasan, kritik, atau deskripsi dari sebuah problem dan solusi. Terakhir judul harus memiliki kerahasiaan atau anggapan bahwa penulis serba tahu.

Sesi selanjutnya kita juga membahas tentang rubrik yang ada dalam sebuah web menulis. Kita bisa mempelajari bagaimana rubrik dan redaktur dapat menerima artikel yang dibuat. Maka dari itu sering membaca dan berlatih menulis adalah cara efektif untuk memahami kelemahan keunggulan sebuah web menulis. Selain itu kita juga belajar tentang gaya membuat pendahuluan. Bagaimana pendahuluan menjadi pengantar yang menarik sehingga pembaca ketagihan untuk menyelesaikan bacaan.

Sesi akhir kita saling mengingatkan dan menguatkan agar tradisi membaca menulis dalam hidup di tengah mahasantri yang sedang belajar. Lebih lagi menulis sebagai jalan untuk mengabadikan diri.

the woks institute l rumah peradaban 18/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde