Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 6 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Mentoring menulis di edisi ke-6 ini nampak istimewa, suasana begitu hening serta cuaca pun nampak cerah. Walaupun beberapa kali kita dikagetkan dengan hiruk-pikuk kampus lewat segala permasalahannya. Akan tetapi hal itu tidak membuat kami para mentor mundur. Para peserta pun nampak menikmati proses belajar menulis walaupun memang masih terlihat kesulitan dalam merangkai kata.

Di waktu yang tinggal menyisakan beberapa hari tersebut kami masih setia mendampingi peserta. Kami tidak menyampaikan banyak teori dan memang menjelang malam terakhir prioritas adalah tentang praktek menulis. Para peserta diminta untuk segera menyelesaikan tulisannya dan memang harus dipaksa. Dengan paksaan tersebut setidaknya menjadi tanda bahwa proses menulis ini bukan mainan akan tetapi tetap santai. Kata Tan Malaka agar dapat terbentuk kita harus mengalami benturan-benturan. Dalam hal menulispun demikian, seorang pemula perlu terus berlatih dan berlatih.

Dalam proses latihan tersebut saya melihat peserta sangat berusaha di tengah keterbatasan. Maka saya dan mentor pun memaklumi bahwa menulis itu butuh perjuangan. Saya mengistilahkan menulis juga ibarat para pendekar pencak silat. Namun bedanya pendekar ini adalah pesilat pena yang menarikan untuk melahirkan tulisan. Kita memang butuh perjuangan ekstra salah satunya dengan rajin membaca dan mencatat. Pembiasan itulah yang pada akhirnya membuat kita enjoy dengan menulis.

Menulis bukan problem, demikian juga dengan membaca. Kata Najwa Shihab untuk mencintai bacaan anda hanya butuh satu buku. Dengan itu kita akan tahu akan manfaatnya membaca. Setelah tahu akan manfaatnya membaca kita mencoba berbagi dengan menuliskannya. Para santri tentu bisa lebih unggul dari entitas lain di masyarakat terlebih soal bacaan, tradisi dan inspirasi menulis. Sebenarnya santri lebih memiliki keunggulan dalam hal menulis termasuk era saat ini di tengah keberlimpahan pengetahuan. Jadi tidak ada alasan untuk kita berdiam statis pada persoalan menulis ini.

Terakhir beberapa peserta sudah mencoba menulis dan mengkonsultasikannya. Dalam proses itulah setidaknya ada kemajuan untuk mencoba dan belajar. Dengan itulah kedepannya kita berharap bahwa pembelajaran ini menjadi tradisi buat para peserta. Jika pun pelatihan akan berakhir setidaknya kita secara personal bisa terus berlatih tanpa ada batasan ruang dan waktu. Selamat berlatih dan mencoba.

the woks institute l rumah peradaban 22/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde