Langsung ke konten utama

Plosokandang Bertilawah 2022




Woks

Barangkali Plosokandang Bertilawah bukan istilah baru yang kita dengar. Istilah ini mungkin saja sudah ada sejak masa lampau hanya saja populer baru saat ini. Saya pernah mendengar istilah itu ketika tahun 2018 yang diinisiasi oleh KKN berbasis posdaya dan keagamaan di desa Plosokandang. Salah satu program KKN tersebut adalah Plosokandang Bertilawah alias mengaji Qur'an serentak.

Pada saat itu pengajian dilangsungkan di beberapa titik mushola dan masjid se-Plosokandang. Intinya dari acara tersebut banyak para peserta yang ikut dalam khotmil Qur'an. Kali ini di tahun 2022 Plosokandang Bertilawah kembali digelar dan dimotori oleh para khatimin khatimat dari PPTQ Al Hidayah asuhan Abah Kyai Sumari dan Ibu Nyai Puji Rahayu. Para khatimin khatimat yang akan diwisuda tersebut diminta untuk mengaji, mengkhatamkan 30 juz al Qur'an di beberapa wilayah yang ada di Plosokandang.




Sebagai rangkaian pra wisuda acara Plosokandang Bertilawah ini dilaksanakan di beberapa titik di antaranya; Masjid Baitul Hakim Kampus UIN SATU, Masjid Nurul Huda Mbah Dul, Masjid Riyadul Jannah, Masjid Baitul Amal, Masjid Miftahul Hasanah, Aula Kasepuhan PPHS Srigading dll. PPTQ Al Hidayah sengaja membuat acara Plosokandang Bertilawah atau Majelis Istimail Qur'an karena pada tanggal 6 November 2022 ini akan melaksanakan wisuda purna tahfidz sekaligus peringatan Haul KHR. Abdul Fatah Mangunsari ke-70. Setelah sebelumnya mereka sukses melaksanakan acara berupa majelis manaqib, Dibaiyyah, al Barzanji, majelis ishari dan lainya.

Melihat Plosokandang Bertilawah saya jadi berpikir jauh tentang sesuatu yang bersifat spiritual. Ketika para santri hamilul Qur'an tersebut menyenandungkan lafadz demi lafadz al Qur'an di berbagai tempat seolah sedang membuat simpul ruhani. Simpul tersebut bisa dirasakan salah satunya terasa sejuk walaupun cuaca begitu panas dan nampak tenang di tengah hiruk-pikuk dunia. Semoga saja simpul ruhani berupa bacaan al Qur'an bisa terus erat, tak pernah putus dan selalu menaungi desa ini.

the woks institute l rumah peradaban 6/11/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde