Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 2 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Berkah inayah dan hidayah Allah, alhamdulillah semalam saya hadir kembali dalam acara mentoring menulis. Walaupun suasana mendung pasca hujan deras tapi tidak menyurutkan semangat santri untuk belajar menulis. Mas Aziz dan Mas Wahyu pun tak kalah enerjiknya karena keduanya sudah hadir lebih dulu untuk berbincang dengan santri.

Singkat kisah, acara pun langsung di bagi menjadi 3 kelompok dan kebetulan kelompok saya diberi nama "Tim Solid". Kami langsung menuju kelompok masing-masing untuk berbincang mengenai menulis dan membuat tulisan. Saya mengawali dengan menjelaskan sebuah web menulis nasional yang menjadi target tulisan santri tembus ke sana. Dalam sebuah web biasanya terdapat rubrik yang di sana perlu diperhatikan. Ada strategi khusus yang bisa dicatat karena di sana terdapat corak tersendiri. Setelah itu kami berlatih menentukan tema dan membuat judul tulisan.

Saya menjelaskan bahwa struktur esai dalam tulisan sangat sederhana yaitu terdiri atas judul, pendahuluan, isi dan penutup. Dari struktur itulah tugas seorang penulis untuk mengembangkannya. Mungkin bagi tahap pemula rasanya berat dan sulit akan tetapi jika sudah terbiasa akan menemukan aliran tersendiri. Menulis memang demikianlah butuh dipaksa karena tidak ada bayi lahir yang langsung pandai menulis.

Di tengah perbincangan itu salah seorang peserta bertanya bagaimana kisah saya mulai menulis dan mengapa kita harus berlelah-lelah menulis padahal menulis itu berpikir. Saya pun menceritakan singkat mengapa bergelut di dunia literasi secara umum. Awalnya saya iri dengan seorang teman tentu dia seorang yang menulis. Akhirnya saya berpikir apa yang dapat saya banggakan dan akhirnya menulis jawabannya.

Saya pun menjelaskan mengapa kita perlu menulis? karena menulis itu tanda bahwa manusia itu beradab. Karena ia merupakan produk berpikir maka sejatinya para penulis itu tengah bersyukur atas nikmat Allah berupa akal. Kita juga ingin berbagi dengan segala apa yang dimiliki salah satunya pengetahuan. Maka dari itu menulis adalah salah satu metode efektif untuk menyampaikan gagasan tersebut.

Di sesi penutup para mentor memberikan kesimpulan tersendiri yaitu Mas Aziz menekankan pada bagaimana menikmati proses dan jangan percaya bahwa menulis itu susah. Menulis itu mudah katanya. Mas Wahyu menekankan bahwa eksistensi menulis itu harus dimunculkan karena sejatinya kita bisa menulis. Sedangkan saya berpesan untuk rajin membaca dan berlatih menulis. Tanpa membaca tulisan tak ada isinya. Tanpa menulis bacaan hanya rangkaian kata tak berarti. Maka dari itu menulis adalah proses menanam dari hasil membaca.

the woks institute l rumah peradaban 17/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde