Langsung ke konten utama

PMII dan Kisah Pilu 17 November




Woks

Setelah pulang dari acara seminar nasional yang dihadiri oleh Wamenag RI Dr. H. Zainut Tauhid Sa'adi, saya langsung bergegas pulang. Siang itu langit mendung tapi udara terasa panas. Sejak awal kampus memang ramai karena menjadi tuan rumah Muspimnas PMII. Maka tidak salah jika sejak acara wisuda kemarin sampai hari ini pihak keamanan sudah berjaga siaga 24 jam.

Saya bahkan mencium aroma tak sedap ingat beberapa waktu lalu jika ada acara berkaitan dengan organisasi pergerakan dipastikan selalu ada keributan. Setelah saya pulang dan sampai di pondok sudah beredar luas video keributan dalam acara Muspimnas PMII 2022 di UIN SATU Tulungagung tersebut. Tidak hanya itu beberapa berita online juga telah mengabarkan sebab akibat kejadian keributan tersebut. Padahal acara kelas nasional itu dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi salah satunya para mentri alumni PMII. Dari sanalah dugaan saya tidak meleset dan ini sangat ironis.

Sebagai seorang pengamat amatir melihat kejadian tersebut tentu saya memiliki penilaian tersendiri. Walaupun ini sangat subjektif akan tetapi saya memiliki pandangan terkait insiden kursi melayang tersebut.

Pertama : Insiden kursi melayang bukan hal baru dalam sebuah fenomena ketegangan. Baik di acara kongres, musyawarah atau pertemuan kursi adalah salah satu benda paling dekat untuk melampiaskan kekecewaan atau kemarahan. Saya melihat dalam insiden ini sesuai berita yang diturunkan yaitu akibat kekecewaan fasilitas minim dari panitia yang dikeluhkan peserta. Selanjutnya ada sentimen antara peserta dengan pengurus PBNU yang kebetulan pucuk pimpinannya seorang non-PMII. Setidaknya dari itulah pecah kemelut terjadi.

Kedua : Setiap kader PMII se-Indonesia pastinya memiliki corak dan tradisi tersendiri terutama dalam penerjemahan fasilitas. Tentu saja mereka secara spontan berpandangan bahwa event nasional pastinya memiliki ekspektasi tinggi terhadap perhelatan yang difasilitasi oleh tuan rumah. Maka dari itu terkait fasilitas ini harus diperhatikan sedemikian matang. Wajar saja jika ada dari sekelompok kader yang merasa kecewa dengan segala macam fasilitas karena mereka berasal dari kota nun jauh bahkan ada dari Indonesia Timur. Di sinilah pentingnya saling memahami, menghormati dan menghargai. Jika tidak bisa menjadi kader yang baik lebih baik segera pensiun dini.

Ketiga : Jika tak mampu menjadi fasilitator jangan jadi tuan rumah. Kita tahu di balik kesuksesan R20, G20 dan B20 semua karena telah dipersiapkan secara matang. Digodok secara lama dan hasil perencanaan yang mendalam. Sehingga acara yang melibatkan banyak pihak dan tamu undangan itu terselenggara dengan baik. Maka dari itu khusus tuan rumah ketika memiliki hajat dengan event skala nasional seperti Muspimnas ini harus memenuhi kualifikasi kesanggupan terlebih dahulu. Hal itu bertujuan agar para tamu merasa nyaman dan jauh dari sikap kecewa apalagi sampai bar-bar membahana, merusak segala fasilitas.

Keempat : Saya melihat ada banyak hal kecil yang selalu luput dari event besar. Misalnya kita tahu bahwa bendera adalah simbol kebesaran. Ia selalu diletakkan di tempat tertinggi akan tetapi jika melihat bendera jatuh tergeletak apa yang dilakukan. Sejak awal saya merasa miris ada banyak bendera PMII yang rubuh bahkan terjatuh dalam genangan air. Seharusnya kepekaan sebagai kader yang melihat harus dimunculkan. Nah, selama ini saya belum melihat ada satupun kader yang memperbaiki bendera jatuh itu padahal secara kuantitas jumlah mereka banyak.

Kelima : Mulai saat ini kita harus bersikap dewasa dan jangan mudah tersulut emosi. Sangat disayangkan tindakan yang menghilangkan rasio itu justru menciderai marwah organisasi. Tindakan bar-bar seperti itu justru merugikan diri sendiri dan orang lain padahal kita adalah mayoritas. Oleh karena perseteruan tersebut hanya membuat organisasi lain di luar PMII akan tertawa lepas. Maka dari itu segeralah berpikir jernih, kedepankan rasio lalu bertindak bijak. Jangan sampai hal itu terulang kembali di tengah tradisi bermusyawarah. Jangan sampai tragedi pilu 17 November terulang lagi. Jika tradisi gelutan tersebut dipertahankan alih-alih menjadi organisasi pergerakan justru malah menjadi organisasi preman.

the woks institute l rumah peradaban 17/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde