Langsung ke konten utama

Menyegarkan Kembali Pergerakan Mahasiswa di Kampus





"Di mata kepentingan semua orang atau kelompok itu sama, yang membedakan hanyalah sikapnya saja". Anonim

Tulisan ini barangkali tidak sebegitu kontroversi dibanding dengan Gus Ulil, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" yang diterbitkan Kompas pada tahun 2002. Atau sebelumnya ada pendahulunya yaitu Cak Nur, disapa Nurcholish Madjid, dengan ide besarnya pada 1970an "Sekularisasi Islam, Politik Yes Partai Islam No". Bahkan tidak hanya Gus Ulil dan Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo dan Gus Dur tentunya juga memiliki visi yang kadang disalahpahami. Kekeliruan dalam hal menerjemahkan barangkali memasuki koridor berpikir yang sesungguhnya tidak bisa dihakimi dengan tindakan fisik. Justru lewat ide dan gagasan itulah keterbukaan akan terus menjadi sumbangan bagi pengetahuan di masyarakat.

Hampir seminggu kita disuguhkan aksi tak terpuji dari segenap peserta yang tergabung dalam mahasiswa pergerakan. Berita-berita beredar lewat kanal web, cetak maupun televisi, semua menjadi konsumsi harian ada yang diuntungkan dan pastinya dirugikan dalam pemberitaan tersebut. Berita yang sebenarnya tidak ingin kita dengar untuk sekelas kaum terpelajar. Tapi apa mau dikata nasi telah menjadi bubur dan berita itu aromanya tercium sudah ke mana-mana.

Kongres ke XXXI HMI pada Maret 2022 di Surabaya sempat diwarnai kericuhan karena adanya miskomunikasi. Yang terbaru, Muspimnas PMII 2022 di Kampus UIN SATU Tulungagung diwarnai ricuh saat pembukaan dan aksi perusakan infrastruktur gedung di hari selanjutnya. Munas HIPMI ke XVII 2022 di Solo Jawa tengah juga sama ricuh hingga aksi saling pukul. Rapimnas GMNI ke XXII 2022 di Kaliurang Yogyakarta juga diwarnai adu jotos antara pengurus DPC dan DPD. Data tersebut menunjukkan bahwa organisasi itu sama saja dan tak ada bedanya. Bedanya hanya bagaimana mereka menyelesaikan masalah dengan cara masing-masing.

Dari banyak pemberitaan mengenai organisasi kepemudaan yang sibuk dalam pergulatan fisik tentu hati kita merasa miris. Mereka yang digadang-gadang sebagai role model dalam gerakan perubahan justru belum mampu merubah sikap kakunya. Mereka masih distir oleh adanya ego dan kepentingan sehingga akal sehat kadang dibiarkan di pojokan. Dari beberapa kisah pilu itu akhirnya kita semakin ragu apakah organisasi pergerakan benar-benar bergerak atau justru mengalami stagnasi kebekuan terutama dalam berpikir.

Dulu saat kita menjadi Maba alias mahasiswa baru organisasi pergerakan dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) bergerak merangkul kita yang polos. Dengan segala jargon dan fasilitas semua ditawarkan percis seperti sales marketing jualan obat-obatan. Mereka hadir sebagai tabib yang menyuguhkan jalan kesuksesan. Mereka datang merangkul kita yang tak tau apa-apa dengan alasan kemajuan dan perubahan. Tapi apa nyatanya, fakta menyebutkan lain. Kita yang polos itu seketika sadar melalui serangkaian proses bahwa apa yang telah diucapkan itu mengandung unsur kebohongan. Rasanya gusar dan sedih, Maba nan polos itu hanya menjadi kelinci percobaan.

Sejak lama soal ini (arah) pun sempat menjadi perdebatan panjang. Dulu di era founding father antara Ir Soekarno dan Bung Hatta juga berselisih paham. Kata Bung Karno yang dikedepankan adalah kuantitas tapi bagi Bung Hatta kualitas jauh lebih penting. Bung Hatta menginginkan kaderisasi tapi Bung Karno lebih baik langsung eksekusi. Jadi dalam sejarah soal cara pandang inilah yang menyebabkan mereka perpisah. Tapi itu pun di antara dua bapak bangsa tersebut masih bersahabat erat. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah apakah organisasi pergerakan masih berminat untuk menambah jumlah anggota atau merawat anggota dengan berusaha memupuk sumberdaya manusianya? Inilah PR kita semua.

Gus Dur, Pergerakan dan Penyegaran

Bicara pergerakan bolehlah kita belajar pada KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Manusia multidimensi itu menurut saya sangat cocok dalam hal teladan di dunia pergerakan. Beliau kita tahu ketika di Fordem (Forum Demokrasi) menjadi pengerek kaum pergerakan lain terutama dalam mengawal reformasi. Gus Dur sebagai orang pesantren sangat paham bahwa esensi orang berorganisasi adalah etika termasuk berpolitik. Bahkan kita familiar bahwa Gus Dur selalu meletakkan apapun (baca: kepentingan) di bawah kemanusiaan. Kata Gus Dur yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.

Selain sebagai kiai, guru, politisi, budayawan Gus Dur juga seorang aktivis sejati. Di tengah keterbatasan Gus Dur justru tampil di garda depan terutama bagi mereka yang dipinggirkan. Sekalipun Soeharto adalah musuh utamanya tapi beliau masih berkawan baik. Maka dari itu tidak salah jika Gus Dur adalah "Bapak Bangsa". Gus Dur sangat paham bahwa semua yang ia lakukan tak lain karena basis "akhlak", semua karena Allah.

Soal wacana dan pemikiran Gus Dur selalu berminat jika berkaitan dengan NU. PMII sebagai Banom yang lahir dari NU selalu menjadi topik bagi beliau untuk mendorong kemajuan. Bahkan soal bacaan pun Gus Dur tak pernah pilih-pilih dan selalu dinilai secara kritis. Gus Rizal Mumaziq menceritakan bahwa era tahun 1990 hingga dasawarsa terakhir Gus Dur menyebutkan jika kader PMII belum membaca buku "Kiri Islam" mereka hanya kader pesolek belaka alias kader memble. Artinya bahwa Gus Dur selalu terbuka dengan apapun. Sehingga dengan pengetahuan yang luas Gus Dur tidak alergi bahwa beliau mendekati mereka yang dianggap "kiri" dengan perlahan.

Selama 20 tahun lebih Gus Dur (1995) sebenarnya ingin melihat kader PMII sepeninggal Mahbub Djunaidi untuk asyik dalam debat ide paradigma pembangunan atau ribut soal paradigma perubahan sosial. Jadi mereka ribut atau sampai berantempun menjadi hal yang menarik bukan karena emosi melainkan soal peta pemikiran. Gus Dur selalu mendorong soal pemikiran karena tak lain di PMII misalnya mottonya sudah jelas yaitu, "Dzikir, Pikir, Amal Sholeh".

Sampai jadi presiden pun Gus Dur masih konsisten dengan jalan hidupnya yang sederhana. Gus Dur tidak ubah, ia masih tetap menjadi sumber inspirasi anak muda NU terutama dalam berpikir. Bahkan ketika Gus Dur dipaksa turun dari kursi kepresidenan karena intrik politik beliau mencontohkan dengan tunduk pada konstitusi. Bagi Gus Dur tidak ada jabatan yang dibela mati-matian. Oleh karenanya peta pergerakan bagi Gus Dur sangat jelas yaitu mengedepankan sisi rasionalitas bukan emosional, bar-barisme, atau bahkan ekstrimis.

Penyegaran Pergerakan di Depan Mata

Di bagian akhir kita bertanya lantas bagaimana menjadi mahasiswa ideal di mana dulu para senior selalu mengatakan agar mensinergikan antara aktivitas aktivis dan akademis. Dan ternyata faktanya selalu terbalik bahwa ketika mahasiswa terjun di dunia aktivitas mayoritas tenggelam di dunia akademik. Lebih lagi saat ini depolitisasi dan dekadensi mahasiswa terjadi berkaitan dengan habitus diskusi, membaca dan menulis. Padahal beberapa kajian tersebut sangat bermanfaat dalam membangun paradigma dan peta pemikiran untuk kedepannya.

Apakah mahasiswa dengan study oriented juga dapat diandalkan. Nyatanya tidak juga tapi setidaknya pilihan itu lebih aman. Mahasiswa akademik semata hanya akan berkutat pada buku, penelitian dan penulisan. Sedangkan mereka akan kehilangan kepekaan soal aksi membersamai masyarakat. Inilah barangkali opini untuk saling melengkapi. Tapi bagaimanapun juga menjadi aktivis hari ini lebih mudah daripada di era orde baru. Di mana setiap orang akan dibatasi gerak langkahnya.

Kita masih ingat dengan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengenai kebijakan Nomer 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan kampus (NKK) dan Surat Keputusan No.037/U/1979 tentang aturan bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bertujuan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dari kegiatan politik. Di era ini organisasi baik ekstra maupun intra ditata ulang dan tujuannya jelas demi mengamankan kekuasaan orde baru.

Sebenarnya kontroversi kebijakan Daoed Joesoef karena orang sudah terlanjur marah di sini lain beliau adalah mentri di pemerintahan Soeharto. Sebelum wafatnya pada Januari 2018, Daoed Joesoef menjelaskan bahwa kebijakan NKK/BKK adalah murni pemikirannya dan seketika itu juga Soeharto sebagai penguasa langsung mengafirmasi versi pemerintah tentunya. Padahal Daoed Joesoef hanya ingin lewat kebijakan itu mahasiswa dan kampus menjadi iklim steril dengan hal-hal yang bersifat politik praktis. Mereka sebenarnya cukup mempelajari politik sebagai ilmu pengetahuan dan kaderisasi politisi yang berkarakter. Maka sangat disayangkan hingga hari ini kita selalu gagal melahirkan politikus yang berjiwa besar karena sejak di kampus sudah diracuni dengan berbagai hal orientasi kepentingan sesaat.

Dengan melihat sejarah sebenarnya kita bisa memilih bagaimana pergerakan menuju marwahnya. Jika dulu pergerakan dikebiri karena dianggap berbahaya bagi penguasa maka hari ini seharusnya pergerakan bisa lebih berfungsi sebagai wadah kaderisasi. Pergerakan yang dicetak berdasarkan semangat keilmuan dan etika bukan justru sebaliknya emosional yang mengikis peran akal. Lewat beberapa kasus yang ada seharusnya orang-orang pergerakan segera cuci tangan, bersih-bersih unutk berintrospeksi bagaimana organisasi ditata ulang untuk menentukan arah kebijakan. Bagaimana agar organisasi yang kehilangan citra baik itu dapat kembali meyakinkan masyarakat akan visi besarnya: membangun Indonesia.[]

Woko Utoro
Pengasong kata-kata lewat membaca dan diskusi. Bertempat tinggal di the woks institute l rumah peradaban.

the woks institute l rumah peradaban 24/11/22


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde