Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 8 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Barangkali perjumpaan mentoring menulis di edisi ke-8 ini merupakan yang paling melelahkan. Pasalnya saya bicara melebihi kapasitas sebagai mentor atau bahkan tidak ada bedanya seperti seorang orator. Acara kali ini seperti sebelumnya yaitu lebih fokus pada konsultasi dan diskusi.

Pada edisi kali ini saya harus puas di-roasting oleh para peserta yang mayoritas santri putri tersebut. Dengan suara-suara manjanya mereka menggoda saya sehingga membuat peserta lain tak kuasa menahan tawa. Saya jadi objek alias bahan bully-an dengan suara-suara khas taburan bunga-bunga. Tapi tak apalah malam itu suasana memang begitu asyik. Hal itu menandakan katanya mereka tak segera ingin berpisah. Tapi walaupun perpisahan itu ada setidaknya kenangannya akan tertinggal di sana.

Setelah melewati tertawa manja itu akhirnya saya fokus kembali untuk memberikan beberapa masukan, saran dan kritikan. Menurut saya malam itu ada beberapa peserta yang sudah menunjukkan kemajuannya dalam menulis. Hanya saja mereka masih belum percaya diri dengan apa yang ditulis. Mereka masih nampak bingung untuk mengembangkan paragraf dalam setiap kalimatnya. Karena salah satunya mereka tidak diarahkan oleh adanya outline. Sebenarnya fungsi outline sangat penting yaitu agar penulis tetap pada koridor ide dan gagasan.

Salah satu problem pada penulis pemula adalah malas dan stug alias writer blok. Saat kemalasan datang kadang kita langsung kalah untuk tidak melanjutkan tulisan. Maka dari itu kemalasan lebih cenderung membuat penulis mudah puas dengan kata-kata, "Sudahlah, saya cukup saja ndak usah ditambahkan, ini dan itu". Padahal jika mau kemalasan untuk mengembangkan tulisan bisa disiasati dengan membacanya kembali. Selanjutnya ketika mengalami mental blok penulis pemula kesulitan untuk memulai kembali.

Mental blok atau stug pada tulisan umum terjadi pada siapa saja termasuk para ahli sekalipun. Maka dari itu ketika virus tersebut datang seorang penulis harus memiliki strategi khusus seperti menciptakan mood dengan jalan-jalan atau mencari hiburan. Atau kita dapat menenangkan diri dengan bersantai mungkin minum kopi dan menonton film kesukaan. Tak lupa pula untuk tetap membaca buku agar tulisan tidak kehilangan esensinya.

Di sesi ini permasalahan tanda baca masih sering muncul dan kesulitan dalam memaknai data serta teori kajian sebagai penguat tulisan. Akan tetapi keberanian untuk menyelesaikan ide sederhana merupakan sebuah bentuk kemajuan. Tinggal bagaimana terus konsisten berlatih dan belajar. Di malam itu saya juga memberikan tips agar peserta dapat menyukai buku bacaan. Sebelumnya mereka sebenarnya diberikan perintah agar membawa buku bacaan. Walaupun akhirnya yang membawa hanya satu orang akan tetapi saya tetap menjelaskan secara singkat.

Membaca buku rerata ingin khatam bukan paham. Padahal ada teknik skimming dan selection yang berarti membaca secara layap dan intinya saja. Membaca model ini cukup dilihat dari cover, blubr, sinopsis, bagian pendahuluan dan beberapa bab dalam isi buku. Dengan itu cukup untuk melihat apa isi utama buku tersebut. Khusus jenre self improvement atau buku ringan bisa sangat mudah dibaca dengan teknik tersebut. Terakhir saya berpesan bahwa lewat buku kita bisa menuliskan intisari sekaligus inspirasi untuk dikembangkan menjadi tulisan yang utuh. Selamat mencoba.

the woks institute l rumah peradaban 24/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde