Woks
UIN SATU Tulungagung (17/11/22) menyengsarakan acara Seminar Nasional dengan tema, "Islam Agama dan Politik Kebangsaan". Seminar kali ini nampak spesial karena langsung dibawakan oleh Dr. H. Zainut Tauhid Sa'adi, M.Si. yang merupakan Wakil Menteri Agama RI.
Acara ini bertempat di aula lantai 6 gedung KH. Arif Mustaqiem dan dihadiri beberapa pejabat, para dosen, peserta pendidikan moderasi, tamu undangan dari agama lain serta mahasiswa Pascasarjana. Setelah doa oleh Bapak Abdul Khalik lalu sambutan Pak Rektor Maftukhin acara ini pun dimulai.
Dalam ceramah ilmiahnya Pak Wamenag melayangkan pertanyaan mengapa agama dan politik selalu menarik untuk dibahas. Memang sejak dulu agama dan politik merupakan isu seksi yang tak pernah habis dibahas. Termasuk bagaimana relasi agama dengan produk sains yaitu teknologi. Di sinilah kita bisa melihat bahwa agama dan politik sebenarnya berposisi diametral. Agama menempati posisi yang sakral dan politik bersifat profan.
Tidak semua orang memiliki pandangan positif terhadap politik misalnya Syeikh M. Abduh sangat benci terhadap politik. Ia mengatakan bahwa politik bagai dasar neraka yang ujung daunnya seperti kepala setan dan mereka makan dengannya. Lalu bagaimana kita menjembatani agama dan politik?
Sesungguhnya agama dan politik atau relasi antar agama dan negara bisa kita ketahui berdasarkan 3 paradigma yaitu : 1). Integralistik, simbolistik formalistik atau agama menyatu dengan negara contohnya seperti Vatikan dan Saudi. 2). Simbiotik atau persenyawaan agama dan negara saling berhubungan saling timbal balik, agama sebagai sumber moral, panduan, kaidah penuntun. 3). Sekuleristik atau agama dan negara berbeda karena agama bersifat privat sedangkan negara berjalan sendiri tanpa kehadiran agama. Lalu bagaimana dengan negara kita Indonesia?
Indonesia bukan negara agama atau sekuler tapi negara Pancasila. NU menyebutkan bahwa Indonesia adalah "Darussalam" atau negara damai, negara perjanjian. Muhammadiyah menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara perjanjian dan persaksian. Maka dari itu jika NU dan Muhammadiyah memegang teguh bahwa politik bisa mensejahterakan rakyat maka itu disebut Gus Dur sebagai politik kebangsaan. Atau politik yang bersandar pada kepentingan rakyat dan kebersamaan.
Imam Ghazali menyebut agama dan pemimpin seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Maka dari itu relasi agama negara menghasilkan siyasah nubuwah, ulama dan mulk, sulthan. Imam Mawardi dalam Al Ahkam Sulthaniyah tujuan politik adalah untuk melanjutkan khilafah nubuwah dan kesejahteraan. Walaupun bahasa khilafah masih bisa diperdebatkan. Jika konteks Indonesia bahwa Pancasila terdapat sumber kehidupan dan harga mati. Pancasila bisa mengakomodir semua agama maka dari itu Indonesia bukan negara Islam tapi penghayatan masyarakatnya sangat islami.
the woks institute l rumah peradaban 18/11/22
Komentar
Posting Komentar