Woks
Membaca seri kedua dari Sapiens yaitu Homo Deus, Yuval memang sejarawan yang pandai membuat dunia gempar. Penemuan dan analisis yang tajam serta data-data memadai barangkali menjadi menarik membaca buku ini hingga selesai. Pastinya edisi pertama sapiens membahas tentang asal usul manusia hingga akhirnya mereka berkuasa, akan tetapi Homo Deus barangkali menjadi akhir dari kisah sapiens yang berkuasa itu. Homo Deus adalah kegagalan sapiens sekaligus awal di mana mereka ingin menjadi dewa atau dalam bahasa lain ingin jadi Tuhan.
Dulu sekitar ribuan tahun lalu jika ada 1 kera pasti ia bisa membunuh 1 manusia, tapi 1000 kera tak akan bisa membunuh 1000 manusia. Mengapa demikian, karena semakin banyak kera itu tak akan mampu mengorganisir koloninya sedangkan manusia sudah mampu berpikir tentang strategi. Demikianlah proses perjalanan sapien sekitar 17.000 tahun lalu mereka telah mengalami revolusi kognitif. Sehingga proses berpikir sebagai alat perubahan terjadi sejak lama hingga akhirnya 8.000 tahun lalu revolusi agrikultur terjadi sampai era revolusi saintifik.
Setelah homo sapiens benar-benar menguasai banyak hal tibalah mereka di titik di mana segala macam penemuan produk budaya berpikir lahir. Akan tetapi dunia saat itu masih mengalami pukulan telak akibat kelaparan, perang dan penyakit. Akan tetapi seiring berjalanya waktu sapien berubah homo deus mampu mengatasi semua hal. Bahkan kini hal itu justru terbalik mati bukan karena lapar tapi karena obesitas, mati bukan karena perang tapi depresi dan mati bukan karena wabah akan tetapi karena bunuh diri, kecelakaan dll.
Setelah homo deus menguasai dunia dengan perangkat teknologi. Kini mereka merebut data, semua hal dalam hidup ini hanya perkara informasi yang bisa diakses dengan mudah. Lewat laman seperti Google, Amazon, Alibaba dan lainya bisa sangat mudah mengunduh hal-hal yang diinginkan. Sehingga dengan segala data mutahir itu homo deus berpikir untuk immortalitas alias bagaimana menjadi abadi.
Mereka berlomba bagaimana hidup bisa lebih panjang. Ketiga agama menyebut bahwa kematian adalah perpisahannya ruh dengan jasad sedangkan sains berkata bahwa kematian adalah ketika tidak berfungsinya organ dalam tubuh misalnya jantung yang berhenti tak mengalirkan darah ke seluruh urat nadi. Mereka mencoba menciptakan teknologi yang dapat menopang kehidupan buatan.
Walaupun teknologi datang belakangan dari manusia akan tetapi teknologi justru mampu merubah segalanya dalam sekejap. Di sinilah seharusnya kita sadar akan kemanusiaan, karena bagaimanapun kita sedang dijebak oleh yang mengendalikan teknologi. Lewat teknologi lah rasa kemanusiaan justru luntur alias mudah teraleniasi.
Orang-orang justru mengantungkan hidup lewat teknologi. Robot diciptakan dan dianggap sebagai penyedia kebahagiaan. Padahal kebahagiaan itu abstrak dan sulit dilukiskan. Sejak lama Albert Camus mewanti-wanti bahwa semakin kau kejar kebahagiaan justru tak akan kau temui jua. Apalagi jika dikontekstualkan dengan saat ini kebahagiaan semakin mengalami absurditas.
Lantas jika teknologi adalah problem maka apakah ada cara melawannya. Pertama dalam era big data kita perlu menghapus data-data agar hidup tidak kecanduan di sana, kedua lawan teknologi adalah dengan moralitas. Hanya lewat cara itulah berarti kita tengah memupuk kesadaran bahwa secanggih apapun teknologi, ia rapuh. Kita memang harus mengurai kembali bahwa nama adalah identitas, sedangkan diri adalah personalitas. Kita secara hati nurani itu adalah sesungguhnya dan teknologi bukanlah apa-apa. Maka pergunakan saja secukupnya sesudah itu tetap bahwa humanitas adalah yang perlu diperkuat. Karena dewasa ini persinggungan dengan teknologi akan berdampak pada dehumanisasi alias hilangnya sentuhan kemanusiaan.
the woks institute l rumah peradaban 10/11/21
Komentar
Posting Komentar