Langsung ke konten utama

Media yang Mencemaskan




Woks

Sejak awal memasuki era modern kecemasan dan penyakit mental spiritual sudah menjangkiti manusia modern begitu ungkap Sayyed Hosen Nasr. Tidak salah kini krisis ekologi sampai krisis moral menjadi tantangan utama. Di satu sisi ada sekelompok orang mati-matian menggali kesadaran untuk penyelamatan, di sisi lain orang juga mengubur peradaban untuk sebuah kepentingan. Dunia saat ini memang sulit ditebak, bisa jadi segala macam ketidakberesan ini disebabkan karena oligarki kuasa pengetahuan yang mendominasi.

Di era modern ini memang banyak hal yang bergeser utamanya soal pencernaan kesadaran, persepsi dan daya kritis masyarakat yang kian tumpul. Dengan adanya media sosial misalnya orang-orang sudah tidak ragu mematikan kepakarannya. Mereka selalu riuh dalam kelanggang maya itu. Otak dan pikiran bukan menjadi kesadaran utama. Sehingga dalam bahasa Jonathan Haidt kini orang-orang dipecah oleh politik dan agama. Atau orang baik, orang beragama bisa dibuat chaos oleh sebuah kepentingan.

Bisa dilihat sejak pilpres 2014-2019 media sosial ribut oleh pendukung presiden dan mereka menjadi berkubu-kubu. Dengan bantuan media justru kita bisa terpecah belah. Media sosial terutama memang sangat cepat untuk menggiring opini orang dalam memuaskan hasratnya termasuk dunia game. Kini anak-anak lebih suka bermain game daripada bermain yang melibatkan psikomotornya. Bisa dibayangkan dengan game orang bisa kaya mendadak hanya dalam waktu singkat.

Dulu orang yang kaya mendadak menjadi indikator pesugihan akan tetapi kini game, kemenangan dan uang menjadi masif di mana-mana. Bahkan dalam anekdot profesi dukun pun mendadak gulung tikar karena kekayaan nyatanya tidak perlu klenik, cukup di depan layar kita mainkan game nya dan menang, glory and victory.

Ketika orang sudah berorientasi uang atau penghasilan lantas Tuhan akan tergantikan. Sekali pun jika dia tidak disembah tentu dia pun tetap Tuhan. Akan tetapi yang jadi bermasalah adalah ketika mempertuhankan yang lain sebab dia maha cemburu. Berhala-berhala kecil di akhir zaman semakin banyak di mana-mana. Gen Fir'aun, Qorun dan Tsalabah menitis ke umat nabi. Efek medsos, game memang opium dan candu selalu ketagihan dan tak akan pernah puas.

Media-media tersebut sejatinya hanya mengandung ilusi. Alih-alih memberikan kepuasan nyatanya hanya menenggelamkan. Seperti halnya judi, awal jika menang membuat orang penasaran dan ketagihan akan tetapi ketika kalah ia akan sengsara. Media-media memang sengaja dibuat untuk mengaleniasi manusia. Padahal media sebagai produk budaya justru menjadi problem bagi kebudayaan itu sendiri. Kini kita menjadi kelabakan akan ciptaan kita sendiri. Bahkan kecemasan sudah diprediksi sejak masa silam melalui data-data oleh Yuval Noah Harari bahwa kuasa manusia akan membuat mereka menjadi "Deus".

Lantas bagaimanakah mengatasi kecemasan itu selain menggugah kesadaran, membentengi diri dengan ilmu dan agama serta berpuasa terhadap hasrat rendahan. Kunci pintu rapat-rapat akan godaan media sesaat itu. Kuasai media dan menjadikannya sarana menebar kebaikan. Seringlah berdiskusi dengan para ahli agar kita tersinari pencerahanya. Jangan lupa berdoa serahkan semuanya kepada Tuhan.

the woks institute l rumah peradaban 27/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde