Langsung ke konten utama

Mahluk Kesepian




Woks

Seorang teman pernah menulis mengapa kita begitu khusyuk berlama-lama dengan gadget? barangkali jawabannya adalah karena kita tengah kesepian. Tidak salah juga pernyataan itu karena memang selama ini intensitas kita bersama gadget begitu lama. Bahkan ada anekdot bahwa gadget adalah jantung kedua yang membuat seseorang hidup dan berwarna. Tapi apakah faktanya demikian?

Dilansir dari VOA Indonesia yang mengutip penelitian program perilaku siswa Internasional (PISA) menyebutkan bahwa tingkat kesepian remaja meningkat 2X lipat sejak tahun 2012-2018 bahkan bisa bertambah hingga kini. Mengapa hal itu bisa terjadi? ternyata alasanya sederhana yaitu karena ketergantungan orang dan gadget sudah di level candu.

Selama ini orang menyangka bahwa gadget memberikan banyak hal termasuk kepuasan hidup. Nyatanya tidak demikian faktanya gadget, internet hingga popularitas pun tidak menjamin kebahagiaan justru semakin terasing. Menurut Journal of Adolescence 2021 menyatakan bahwa media digital tak memberikan kedekatan emosional sebanyak saat berinteraksi secara langsung. Oleh karenanya sangkaan kita selama ini bahwa gadget sejatinya telah menipu akan konsep bahagia itu.

Akan tetapi selama ini kita memang tengah kesulitan bahwa jika seseorang hidup tanpa gadget mereka akan terjangkit syndrom FOMO atau Fear of Missing Out, sebuah sindrom ketakutan akan ketinggalan zaman. Tapi di sisi lain manusia juga mudah terkena gangguan mental akibat penggunaan gadget berlebihan. Bahkan Max Scheller menyebut manusia sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah. Tentu kegelisahan manusia berawal dari pikiran yang mudah memikirkan hal-hal yang tidak penting selain itu faktor mental emosional juga berpengaruh karena mudah tidak stabil.

Lantas sebagai mahluk yang mudah kesepian apa ada cara atau obat dari keterasingan itu selain ngaji. Ngaji adalah bentuk kristalisasi iman sehingga ngaji ini sangat penting untuk diperhatikan lebih lagi dampak berlebihan dari media sosial adalah depresi. Lewat ngaji setidaknya kesepian jiwa bisa terobati karena di sana selain ada transfer ilmu kita juga akan mendapatkan tarbiyah langsung dari seorang guru utamanya soal perbaikan hati dan pikiran.

the woks institute l rumah peradaban 4/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde