Langsung ke konten utama

Mengenal Komunitas SPK




Woks

Sejarah akan selalu berbeda di hadapan para penuturnya pun termasuk aku pribadi. Mari mengenal salah satu komunitas bernama SPK. Sesempit pengetahuan ku SPK adalah komunitas menulis yang memiliki kepanjangan "sahabat pena kita". Komunitas ini berbasis WhatsApp dan kesekretariatan.

Awalnya grup menulis ini bernama "Sahabat Pena Nusantara", entah ada faktor apa yang menyebabkan komunitas ini berjalan sendiri yang jelas kini semua sama-sama berjalan untuk saling produktif. Komunitas ini digawangi oleh para akademisi di antaranya M. Khoiri (UNESA), Prof. Chirzin (UIN SUKA), M. Arfan Muammar, Didi Junaedi, Wafiroh, Ngainun Naim (UIN Tulungagung), Marjuki, Armie dan lainya. Termasuk melibatkan sesepuh seperti Prof. Imam Suprayogo, KH. Masruri Abdul Muhit.

Cara kerja komunitas ini yaitu peserta yang ingin bergabung bersama SPK harus setor link tulisan di blog untuk join awal sebagai bukti kesiapan. Setelah dinyatakan sebagai anggota maka boleh langsung aktif di WAG. Di sana ada peraturan di mana anggota berkewajiban memilih waktu wajib dan sunnah untuk menulis. Jika dalam waktu satu bulan 3X berturut-turut tanpa keterangan dan tulisan maka admin akan mengkick anggota secara terhormat. Selain itu untuk kepentingan kopdar setiap 3 bulan sekali anggota dianjurkan untuk membayar uang kas sebesar 25 ribu per/bulan.

Di SPK selain ada kopdar di sana juga terdapat sharing tentang literasi, diskusi, share info menulis hingga membuat buku antologi. Anggota akan saling memberi support dan saling berbagi. Tidak hanya itu di akhir sesi kopdar atau seminar biasanya akan ada pengumuman penobatan anggota terproduktif.

Sejak pertama mengetahui SPK hingga kini telah mengadakan kopdar sebanyak 8 kali dan di akhir-akhir ini diadakan dengan online karena masih pandemi. Keanggotaan SPK kini menyebar di beberapa cabang di antaranya pusat Jakarta, cabang Malang, Magelang dan Tulungagung. SPK barangkali sedikit dari grup yang bertujuan untuk memberdayakan literasi. Orang diajak untuk lebih bermakna dalam memanfaatkan waktu, tenaga dan fikiran. SPK membuktikan bahwa melalui literasi orang-orang sekitar bisa berdaya saing yaitu dengan produktif menulis dan menebar kebaikan lewat tulisan dan gagasan.

the woks institute l rumah peradaban 1/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde