Langsung ke konten utama

Kepribadian dan Bacaan




Woks

Sejak lama mendefinisikan jiwa memang lebih sulit seperti halnya kepribadian yang entah barangkali makna yang ada hanya sekadar terkaan para ahli. Jiwa dan kepribadian menjadi topik yang tak terpisahkan dalam disiplin ilmu psikologi. Sampai-sampai karena masih begitu abstrak jiwa belum terdefinisi dengan tepat. Selama ini yang mampu didefinisikan yaitu tingkah laku.

Orang-orang masih menganggap bahwa tingkah laku sebagai sesuatu yang tampak menjadi indikator sifat asli manusia. Maka dari itu kepribadian seseorang bisa sangat mudah ditebak oleh apa yang dilakukannya. Akan tetapi kadang-kadang sikap yang nampak itu menjadi sulit ditebak karena adanya kamuflase diri atau dalam psikologi disebut shadow (bayangan).

Jika tingkah laku menjadi indikator kepribadian seseorang barangkali kalangan behavior telah berhasil walaupun bukan menjadi faktor utama dalam mendefinisikan manusia. Tapi ada kisah unik bahwa seseorang memang sangat mudah dinilai berdasar apa yang ia sukai. Misalnya dalam Buku Ungkapan Hikmah (2013) Prof. Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa kepribadian seseorang bisa dilihat dari bacaan yang disenanginya teman, dekat jenis pekerjaan yang diminati, dan cara memperlakukan orang lain yang belum dikenal hlm. 207

Prof. Komar bahkan bercerita bahwa ada seorang perempuan yang tertarik kepada seorang lelaki yang sedang membaca buku berjudul "Menjadi Ayah Yang Baik" padahal perempuan itu belum mengenalnya. Hal unik lainya yaitu bahwa si lelaki tersebut membaca memang karena sedang menunggu antrian masuk ke dokter gigi dan buku itu bukan miliknya, barangkali buku tersebut memang disediakan untuk pasien di ruang tunggu. Singkat cerita perempuan itu akhirnya menikah dengan si lelaki pembaca buku tersebut hingga kini mereka bahagia.

Kisah tersebut barangkali terlalu instan untuk dicerna akan tetapi bagi si perempuan sederhana saja bahwa sebelum menikah si lelaki sudah mau membaca agar kelak ia menjadi ayah yang baik. Berarti ketika esok membina rumah tangga ia benar-benar melakukan hasil bacaanya itu. Tentu pandangan perempuan ini sangatlah langka di zaman ini. Karena memang pandangan husnudzon alias baik sangka memang sudah sulit ditemui.

Dari kisah tersebut tentu kita belajar bahwa apa yang kita lakukan merupakan cerminan diri. Atau bahkan orang lain merupakan cermin atas diri kita. Jika kita ingin tahu sebagai pribadi yang baik atau buruk tanyalah kepada orang lain. Mereka tentu punya penilaian khusus terhadap diri kita.

Satu hal lagi tentang bacaan tersebut, itu hanya satu contoh saja bahwa kebaikan yang kita lakukan akan menuai kebaikan pula. Maka perlulah apa yang dilakukan merupakan kegiatan yang positif agar sesuatu yang positif menghampiri kita, berbeda dengan GIGO atau garbage in garbage yaitu apa yang dikonsumsi itulah yang dikeluarkan. Jika hal baik maka kebaikan pula outputnya.

the woks institute l rumah peradaban 4/11/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde