Langsung ke konten utama

Review Buku Ungkapan Hikmah




Woks

Membaca buku Ungkapan Hikmah (2013) karya Prof. Komaruddin Hidayat ini memang tepat, sesuai dengan judulnya penuh dengan kata yang tidak sekadar kata. Dalam buku ini justru kata menjelma makna sehingga dapat memuat energi yang menggerakan pikiran menuai tindakan.

Buku yang terdiri dari 12 bagian ini walaupun cukup tebal akan tetapi begitu ringan dan mudah dipahami. Prof. Komar memang sengaja memilih kata-kata sederhana tersebut agar mudah dipahami semua orang. Beliau sendiri mengakui bahwa buku tersebut hadir dari SMSnya kepada setiap teman yang akhirnya embun penyejuk tersebut dikumpulkan oleh Abdillah Wong menjadi buku.

Menurut penulis best seller Psikologi Kematian tersebut buku ini menjabarkan banyak hal dalam hidup mulai dari bicara keluarga, menggunakan hati, menjelajahi persahabatan hingga merapal kebahagiaan. Prof. Komar memang sangat ciamik dalam mengolah kata sehingga dapat menyerap ke dalam pikiran siapa saja yang membacanya. Misalnya beliau mengingatkan bahayanya virus 3H yaitu hurried, humorless dan hostile. Ketiga virus tersebut sering menjangkiti utamanya mereka para pejabat. Hidupnya terkesan terburu-buru, akibatnya hidup kehilangan selera humor dan selalu dalam semangat persaingan dan permusuhan bahkan saling menjatuhkan. Di era serba kompetisi ini tentu hal itu bukan saja tidak mungkin lebih lagi pasti ada di sekitar kita tanpa disadari. hlm. 18.

Selain itu beliau juga mengajak bersyukur dengan mensyukuri nikmat 3H yaitu head, heart dan hand. Head berarti sumber gagasan dan pikiran, heart sumber tekad dan niat serta hand sarana mewujudkan gagasan dan kehendak. Dengan begitu tentu pembaca akan sangat dimudahkan, esensinya tetap yaitu mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. hlm. 24

Selain itu resep agar bekerja dengan tanpa merasa lelah ternyata kuncinya ada dalam hati. Prof. Komar menuliskan bahwa jika kita bekerja dengan fokus dan sepenuh hati pasti kita tak akan puas meski kelelahan. hlm. 36 Intinya banyak hal yang sejatinya dapat dipelajari di sekeliling kita sendiri. Buku ini sesungguhnya mengajak kita untuk lebih memperkaya hati dengan ilmu dan kebijaksanaan. Misalnya pun manusia jika terkena musibah maka dengan ilmu dan kedewasaan ia akan menemukan jalanya sendiri tanpa perlu menyalahkan liyan. Prof. Komar menjelaskan seperti juga orang Barat bahwa "blessing in disguise" di setiap musibah pasti ada hikmah.

Rasanya lengkap jika membaca buku ini secara utuh agar kita mendapatkan energi hikmah yang terkandung di dalamnya. Buku ini sangat cocok sebagai camilan yang sari patinya bisa diterapkan sehari-hari entah sebagai petuah hidup atau sebagai petunjuk jalan.

Judul : Ungkapan Hikmah (Membuka Mata Menangkap Makna)
Penulis : Komarudin Hidayat
Penerbit : Noura Books
Tahun : 2013
Tebal : 360 hlm

the woks institute l rumah peradaban 2/11/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde