Langsung ke konten utama

Majlaz Bersama Habib Muhammad Romadhon Alaydrus Mekah




Woks

Di penghujung bulan November 2021 Majlaz kali ini kedatangan tamu istimewa yaitu Habib Muhammad Romadhon Alaydrus alumni Rusaifah Mekah Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki al Hasany. Beliau juga datang bersama teman yang menerjemahkan ceramahnya yaitu Habib Muhammad Tsani bin Husain Assegaf.

Dalam ceramahnya beliau menyampaikan banyak hal terutama soal isu pendidikan pesantren. Menurut beliau menitipkan anak di pesantren lebih baik daripada di sekolah formal. Di pesantren lebih lengkap dan terus terpantau oleh guru terutama masalah adabiyahnya. Maka dengan begitu bersyukurlah kepada mereka yang diberi kesempatan menjadi santri karena banyak juga di luaran sana yang iri ingin menjadi santri.

Lalu beliau juga berkata bahwa jika ingin mengukur siapa dirimu maka pahamilah dawuh Ibnu Athoillah dalam Hikam bahwa siapa kita maka bertanya di mana kamu ditempatkan. Jika kita ditempatkan bersama orang baik maka baiklah kita dan sebaliknya. Termasuk bagaimana seseorang terus berharap untuk diberi kenikmatan dalam menimba ilmu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menimba ilmu maka akan Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Orang jika sudah diberi kenikmatan menimba ilmu maka biasanya sampai lupa umur. Tapi demikianlah jika ingin anaknya ahlu ilmi maka kita pun harus gigih dan senang akan ilmu. Seperti halnya Imam Haramain guru Imam Ghazali memiliki angan-angan yang beda dari kita. Beliau merasa mendapat kelezatan dalam menimba ilmu dan ingin terus menjadi pelayan ilmu. Beliau tidak ingin memperturutkan syahwat, harta dan jabatan melainkan ilmu.

Dalam ceramah, beliau juga bercerita ada seorang anak yang meninggalkan rumah, keluarga dan kesenangan hanya untuk menimba ilmu dan menghafal al Qur'an. Singkatnya ketika sang anak itu datang ke pondok ternyata pondok sudah penuh, sudah ditutup pula pendaftarananya. Seketika itu juga ia ditolak oleh pengasuh dan diusir tidak diterima di pondoknya.

Singkat kisah ia tidur diemperan dengan kerinduan dan semangat menimba ilmu. Akhirnya dalam tidur tersebut ia bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpi itu ia diperintahkan rasul untuk kembali ke kiai tersebut akan tetapi sang anak mengelak apa mungkin bisa sedang dirinya anak kecil yang belum bisa apa-apa kecuali semangat tekad untuk menghafal Al-Qur'an. Dalam kebimbangan itu akhirnya sang anak diberi secarik kertas oleh Rasulullah bertuliskan zumaro-zumaro. Tanpa pikir panjang ia menemui lagi pengasuh tersebut.

Benar dugaanya akhirnya ia diusir untuk kesekian kalinya. Akan tetapi ia meyakinkan kiainya bahwa ia disuruh oleh Rasulullah untuk menemuinya kembali. Lalu kiai tersebut memastikan apa yang membuat ia mempercayainya. Lantas anak itu menyodorkan secarik kertas bertuliskan zumaro-zumaro (berbondong-bondong). Lalu sang kiai itu pun menangis. Si anak semakin bingung mengapa hal itu terjadi. Seketika itu ia langsung bertanya sebenarnya mengapa engkau menangis kiai, memang apa arti kata itu. Lalu sang kiai bercerita bahwa kemarin ia bermimpi bertemu Rasulullah tentang orang yang dimasukkan surga secara berbondong-bondong dan ini percis dengan kata itu, zumaro-zumaro. Maka mulai saat ini kamu boleh masuk ke pondok bebas dari arah mana saja.

Habib Romadhon juga berkisah tentang Syeikh Sa'duddin at Taftazani sosok rendah hati dan dulu tidak bisa apa-apa alias bebal dalam memahami ilmu. Beliau berkisah dalam Kitab Syadzarat al-Dzahab karangan Ibnu al-Ma’ad yang menerangkan sosok murid yang gigih akan tetapi sangat bebal dalam pemahaman ilmu (ba’id al-fahmi jiddan), sekaligus memiliki semangat keilmuan yang luar biasa. Murid itu adalah Sa'duddin at Taftazani. Ibnu al-Ma’ad mensifati Sa'duddin dengan katsir al-ijtihad wa lam yu`ayyishu jumudu fahmihi min al-thalab; memiliki kemauan yang tinggi dan tak patah arang untuk belajar meski daya pemahamannya sangat-sangat tumpul.

Sa'duddin ini memang tipikal murid yang selalu dibully karena kebebalanya sampai-sampai gurunya Syeikh ‘Adhuddin Abdurrahman al-Ijiy merasa geram mengapa ia sulit untuk menerima ilmu. Tapi suatu hari kejadian merubah dirinya. Ia diperintah oleh seorang utusan untuk datang ke suatu tempat tapi Sa'duddin langsung menolak sebanyak 3x karena alasan kebebalanya dan ia malu tidak bisa apa-apa.

Singkat cerita Sa'duddin pun mau menemui orang tersebut dan ternyata dia adalah Rasulullah. Maka ia pun berlari menuju ke sana. Seketika Rasulullah berkata mengapa kamu tidak mau diajak kemari? Sa'duddin pun menjawab karena ia merasa bebal dan malu tidak bisa apa-apa. Lalu Rasulullah memerintahkan untuk membuka mulutnya dan diludahinya Sa'duddin tersebut. Hingga dalam riwayat ia langsung cerdas dalam memahami sesuatu ilmu. Keesokan harinya benar, ketika di kelas Sa'duddin menjadi murid yang pintar dan membuat hati gurunya luluh melihat kegigihan muridnya itu. Di sinilah pesan untuk para santri agar tetap memupuk semangat dalam menimba ilmu sekalipun ilmu tersebut sulit dipahami.

the woks institute l rumah peradaban 21/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde