Langsung ke konten utama

Review Buku Nikah Untuk Doi




Woks

Akbar Riziq barangkali satu di antara penulis pendatang baru yang layak diperhitungkan. Kendati omongan saya ini tidak berstatus sebagai pakar akan tetapi hal itu dibuktikan dari buku pertamanya ini. Sebagai seorang kritikus sastra amatiran saya merasa menikmati rajutan kata dalam puisi ini. Seolah-olah kita diajak bertanya bagaimana proses kreatifnya sehingga menghasilkan buku puisi ini, apa motivasi dan latarbelakangnya.

Buku ini terdiri dari 7 bagian di antaranya perihal diri, jarak pertama, meramu kisah, waktu, keabadian, dan serpihan. Buku ini merupakan kumpulan refleksi di mana ia tidak hanya menyuguhkan kata untuk kekasih akan tetapi berbicara tentang apa saja termasuk kegigihan, perlawanan, kerinduan hingga agama dan Tuhan.

Buku ini diawal dan diakhiri dengan kata-kata yang menggugah selera. Riziq memang mampu mengacak-acak emosi pembaca dengan ragam frasanya itu. Misalnya saja di awal bagian sampul buku tertulis secarik makna esensial.

Kesunyian adalah cara terbaik untuk merevisi naskah asmara sebelum menjelma buku nikah yang sah.

Kata itu menjadi bagian tak terpisahkan sekaligus otak utama dalam buku ini yang melukiskan harapan, cinta dan asmara. Pada bagian prolog penulis juga menjadikan kata sebagai ruang penegas bagi terwujudnya sebuah cita cinta.

Saya diajarkan oleh kata-kata yang tulus mencintai kalimat tanda baca. Biarlah sela-sela abjad yang menafsirkan itu semua...

Pada bagian pengantar barangkali merupakan ungkapan optimistis yang disampaikan kekasihnya perihal bangga, serta haru di tengah keterbatasan dan tanggungjawab penulis membuktikan karya kepenyairanya.

Di bagian satu misalnya penulis juga memberikan corak self foem atau puisi diri yaitu sebuah ragam bahasa hati yang terhubung dengan asas revolusi dari dalam pikiran.

Perihal diri untuk nanti
Tempat kediaman yang paling damai adalah ruang tanpa logika bebas entah kemana.

Tidak hanya itu rangkaian puisi dalam buku ini lebih banyak merekam cerita harapan.

Pada jingga lampu taman kota
Mata hati itu berkilauan
Ia menjelma suara masa depan
Menjamah erat jari jemari tangan.. hlm 182.

Setidaknya ada satu hal menarik dalam buku ini yaitu penulis merasa dipengaruhi oleh kepenyairan Jokpin alias Joko Pinurbo.

Aku ingin tetap gagah
Mencintaimu tanpa susah
Serupa sajak Joko Pinurbo penuh gairah
Dibaca lumrah didengar dengan cerah. hlm 183.

Selanjutnya yang menjadi judul besar dalam buku ini tentu "Buku Nikah". Di antara sajak yang tertulis dalam judul besar ini yaitu,

Oh, Ajhizah yang kudamba sah
Puisiku akan terbit menjadi buku nikah
Pada tiap halaman kita purba tiada punah

Begitulah salah satu penggalan sajak puisi yang secara jujur dipersembahkan penulis kepada kekasihnya. Ia berharap esok buku ini laiknya tidak hanya sebagai kado pernikahan akan tetapi mahar abadi yang mereka kenang. Puisi dinikmati bukan karena katanya tapi makna yang terkandung di dalamnya. Karena setiap kata membawa pesannya tersendiri bahkan ia bisa menjelma spirit dan bahan bakar yang menggerakan kehidupan. Lantas kita bertanya siapa kekasih yang disebut penulis buku ini? tak lain dia adalah,

Ajhizatul Khoiroh.

Judul : Buku Nikah Untuk Doi
Penulis : Akbar Riziq
Penerbit : Maple Media Grup
Tahun : 2021
Jumlah halaman : 188 hlm
ISBN : 978-623-96465-4-7

the woks institute l rumah peradaban 14/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde