Langsung ke konten utama

Majelis Dzikir Jama'i bersama KH. R. Azaim Ibrahimy Asembagus Situbondo




Woks

Mejelis Dzikir Jama'i Tulungagung mengadakan acara yang sangat penuh khidmat yaitu kemarin sore 23 November 2021. Bertempat di Aula Utama SMA al Azhaar Tulungagung acara ini di hadiri tidak kurang dari 150 an orang dari berbagai lapisan masyarakat dan pelajar.

Acara ini dihadiri oleh pembicara tunggal yaitu KH. R. Azaim Ibrahimy selaku pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Lora Azaim adalah cucu dari Syeikh KH. As'ad Syamsul Arifin (Pahlawan Nasional & pendiri penggerak NU). Yang hadir dalam acara ini di antaranya KH. Abdul Karim, Gus Toha Maksum (Pondok Pampang), Ustadz Anang (Sendang Kamulyan), Abah Toha, Abah Lukman, Ustadz Minhajun Ni'am, Ustadz Burhan, tuan rumah Abah KH. Imam Mawardi Ridwan serta tamu yang lainya.

Acara ini diawali dengan pembacaan Hadrah Basaudan karangan Syeikh Abdullah ibn Ahmad Basaudan oleh Ustadz Adhim, Ustadz Burhan dan Ustadz Abidin. Setelah itu barulah Lora Azaim menyampaikan tausiyahnya. Dalam tausiyah singkat itu beliau menjelaskan tentang pentingnya silaturahmi dan banyaknya keberkahan dalam ajaran tersebut. Terutama para murid Abuya Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki al Hasany sangatlah harus terus bersambung di manapun dan kapanpun berada termasuk kepada murid senior beliau yaitu Abina KH. Ihya Ulumiddin Pujon Malang.

Lora Azaim juga menjelaskan dalam Kitab Risalah Ikhlas wa Ukhuwah karangan Syeikh Badiuzzaman Said Nursi bahwa para pejuang Qur'an, pejuang agama harus ikhlas dan saling menjaga persatuan. Orang-orang yang berjuang dalam agama harusnya larut dalam persaudaraan atau fana maal ikhwan. Artinya mereka para pejuang agama tidak boleh saling berkonfrontasi, menjatuhkan, iri antar satu dengan lainya.

Dalam hal pengelolaan kelembagaan pejuang agama tidak boleh saling mengklaim lembaganya paling besar, kuat, maju dsb. Karena sejatinya mereka harus ikhlas akan perjuangan itu. Perjuangan yang didasari rasa ikhlas justru akan menjadikannya cahaya. Anda tahu cahaya dengan cahaya tak akan bertabrakan. Ia justru saling menerangi sekelilingnya. Di sinilah modal Ikhlas harusnya menjadi dasar utama dalam mengelola apapun. Kita memang harus belajar kepada surah al Ikhlas.

Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya yaitu kita tidak boleh merasa mengunggulkan lembaga dari manapun. Karena dengan begitu berarti kita telah syirik khofi kepada Allah. Syirik khofi itu sesungguhnya adalah hanya membuat berhala-berhala kecil dalam hati. Maka jauhi dan kikislah segala sikap tersebut dengan ikhlas hanya Allah lah sebaik-baiknya tujuan akhir.

the woks institute l rumah peradaban 24/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde