Langsung ke konten utama

Homo Deus dan Kisah Pilu di Tol Jombang




Woks

Tersiar kabar begitu cepat bahwa artis Vanessa Angel (VA) meninggal dunia bersama suaminya dalam kecelakaan tunggal di tol Jombang Kertosono menuju Surabaya. Tentu kabar tersebut langsung menjadi konsumsi publik pasalnya VA sendiri merupakan publik figur dalam dunia interteint ibu kota. Semua orang geger, dunia maya banjir doa bahkan mirisnya masih ada juga yang mencerca. Dunia medsos memang keras dan tak punya etika bahkan di saat terakhir pun orang masih tak punya rasa tega.

Olah TKP hasil laka lantas tentu menjadi berita selanjutnya yang selalu ditunggu-tunggu. Akan tetapi bagaimana pun kejadianya hingga menemukan penyebabnya toh kisah pilu tersebut telah terjadi. Dengan begitu apalagi yang dapat kita lakukan selain berdoa dan belajar. Akhir dari kehidupan seseorang memang tidak akan pernah diketahui. Seperti halnya pertanyaan eksistensialnya VA "ayo tebak ada yang tahu aku mau ke mana?", tentu pertanyaan ini tidak mengandung jawaban pasti. Jika banyak orang menerka bahwa pertanyaan itu adalah awal sekaligus akhir dari sebuah jawaban tentang kepastian.

Faktor ketidaktahuan akan sebuah jawaban adalah bentuk keterbatasan analisis manusia. Sehingga pertanyaan tersebut sangat sulit diurai kecuali sudah menjadi takdirNya. Jika kita membaca Homo Deus, Yuval memberi gambaran bahwa kadang pikiran dunia itu selalu terbalik. Mayoritas orang tergiring opininya bahwa kematian selalu diidentikkan dengan perang, kelaparan dan wabah padahal di luar itu kematian juga nampak serius.

Sudah berapa banyak orang mati karena kelaparan, itu dulu kini banyak orang mati karena kelebihan makanan alias obesitas. Kanker dan serangan jantung menjadi momok yang menakutkan akan tetapi tidak sedikit pula kematian lahir dari jalan raya. Bisa dibayangkan setiap tahun angka kematian di jalan raya saat arus mudik tiba terus meningkat. Dikutip dari Antara News.com terdapat 786 kejadian pada tahun 2016 menjadi 873 kejadian di tahun 2017 kasus. Hal itu apakah murni karena faktor teknis, human error atau infrastruktur tentu banyak faktor.

Barangkali di sinilah Tuhan ingin menunjukkan kuasanya. Tuhan ingin mengajari kepada kita bahwa kepastian yang dipahami selama ini tidak utuh. Itu pertanda bahwa kepastian dan kebenaran mutlak hanya milikNya. Lantas masihkah ada manusia laiknya Firaun di muka bumi ini yang ingin menguasai data dengan segala kuasanya. Apakah ada homo deus baru terlahir menjadi mahluk pongah bertameng teknologi. Sepertinya sudah jelas bahwa bagaimanapun kemajuan ia adalah kemunduran itu sendiri.

Kisah pilu atau tragedi tragis seperti halnya perang bagi Nietzsche adalah pelajaran. Ia hanya akan dikenang sebagai kaleidoskop di akhir menjelang penghujung tahun untuk seseorang yang esok puing-puing kebaikan akan diingat kembali. Terakhir masihkan kita meyakini segenap teori akan kepastian yang dianalisis manusia. Rasanya dalam panjangnya perjalanan hati-hati dan tragedi keduanya sama tak jauh berbeda. Maka dari itu yang terpenting kata orang Jawa "tetep eling lan waspada, sebab sak elek-elek wong lali iseh apik wong seng eling marang Gusti". Perlulah kita belajar banyak tentang semua ini, masa lalu telah kandas akan tetapi masa depan adalah bunga kebaikan yang harus kau perjuangkan. Do'a terbaik untuk Mba Vanessa Angel dan suami. Al Fatihah.

the woks institute l rumah peradaban 5/11/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde