Langsung ke konten utama

Review Buku Kaifa Tushalli




Woks

Buku Kaifa Tushalli (Tuntunan Shalat Menurut Riwayat Hadits) merupakan karya Abina KH. M. Ihya Ulumiddin. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Ngroto Pujong Malang. Kitab atau buku ini selesai ditulis selama 4 tahun. Kata penulis, lamanya penulisan buku tipis tersebut bukanlah apa-apa. Karena bagi beliau menulis hanya sekadar menulis rasanya semua orang mampu akan tetapi buku ini ditulis tidak lebih ingin mengharap ridho Allah swt.

Tujuan dari ditulisnya buku ini setidaknya ada dua hal yaitu, menyambung sanad berdasarkan riwayat dari dari Kutubu Sittah, dan memberi kedudukan asli tentang kaidah shalat sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw صلّÙˆْا كمارايتموْني اصلّÙŠ. Selain itu buku ini ditulis karena terinspirasi dari guru beliau yaitu Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki al Hasany yang mayoritas kitab-kitabnya memiliki sanad keilmuan yang kuat.

Buku Kaifa Tushalli ini terdiri dari 18 pasal yang membahas tentang keutamaan shalat, niat, salam hingga wirid dan do'a. Pada bab pertama penulis menjabarkan keutamaan shalat yaitu sebagai amal pertama yang dihisab, sarana bermunajat, agar hidup sehat sejahtera, dan tentunya akan menghindarkan diri dari siksa neraka dan mendapat surga. hlm 1-6.

Pada bab kedua menjelaskan niat. Dalam buku ini menerangkan bahwa niat itu setidaknya harus memenuhi 3 hal: sengaja melakukan shalat yang diwakili oleh bahasa ushalli, niat kefardhuan dan menyebutkan nama shalat. hlm 8. Pada bab berdiri dan shaf tentu yang baik adalah posisi tegak dengan kaki dan pundak saling merapat bersentuhan. Salah satu filosofinya tentu selain merekatkan persaudaraan shaf juga sebagai lambang saling menyempurnakan. Maka dalam masalah shaf ini Nabi sangatlah selektif karena shaf tidak hanya perkara shalat tapi selalu berkaitan dengan hal eksternal lainya dalam kehidupan.

Jika kita membaca buku ini dan memahaminya hingga usai akan ditemukan hal unik di antaranya pada bab takbiratul ihram yaitu memuat variasi takbir atau ketika mengangkat tangan sehingga dengan kita tahu akan perbedaan itu maka seseorang akan terhindar dari merasa paling benar. Misalnya orang mengangkat tangan sejajar kedua telinga, di atas telinga, sejajar pundak, dan setinggi dada itu semua benar dan terekam dalam banyak riwayat. hlm. 16-19.

Sebenarnya banyak hal lainya yang ingin ditulis dalam resensi buku ini. Akan tetapi rasanya anda harus memiliki buku dan belajar kepada yang ahli dalam menerangkan buku ini salah satunya kepada KTC atau Kaifa Tushalli Center. Sehingga dengan begitu kita bisa belajar shalat sesuai dengan sanad. Satu hal lagi buku ini dilengkapi dengan literatur kutubu sittah yang mana penulisnya memiliki sanad ke sana melalui para gurunya sehingga isi buku ini sangatlah tepat untuk dipelajari.

Buku Kaifa Tushalli sebenarnya hanya ingin memberikan tuntunan agar kita kembali kepada akar keilmuan bahwa segala hal memiliki sanad atau ketersambungan. Maka dari itu dalam bab shalat rasanya buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca agar shalat kita sesuai dengan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah.

Judul : Buku Kaifa Tushalli
Penulis : Abina KH. M. Ihya Ulumiddin
Halaman buku : 67 hlm
Cetakan : V Juni 2021
Penerbit : An Nuha Publishing Malang
ISBN : 978-979-182437-9-2

the woks institute l rumah peradaban 13/11/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde