Langsung ke konten utama

Bergerak Dengan Hati: Refleksi Hari Guru 2021




Woks

Hari guru tiba lagi entah ini disebut momentum perayaan atau renungan. Yang jelas peringatan hari apapun tujuannya hanya bersyukur atas apa yang telah diberikan dan introspeksi atas segala yang dilakukan. Termasuk guru hak dan kewajibannya apakah sudah ditunaikan.

Sejak dulu guru selalu dinisbatkan dengan lembaga yang mengawalnya baik itu dalam dunia formal maupun informal. Guru yang terikat dalam sistem kelembagaan pemerintah dan guru yang apa adanya tanpa terikat dengan apapun termasuk kurikulum yang kaku. Selama ini kita tahu bahwa satu hal yang hilang dari seorang guru yaitu keikhlasan. Faktor ini barangkali menjadi penentu keberhasilan peserta didik. Baik di dunia formal maupun di dunia non formal keikhlasan barangkali harus dimunculkan kembali.

Sudah lama seorang guru menjadi objek keteladanan sehingga pepatah "digugu dan ditiru" masih menjadi mantra utama. Akan tetapi beberapa kasus di mana guru ada yang berbuat tidak senonoh dalam dunia pendidikan maka rasanya pepatah itu berlawanan dengan "guru, wagu lan saru". Di sinilah pertentangan batin muncul di mana seorang guru memang harus satu visi antara apa yang diucapkan dan tindakan.

Menjadi guru di era modern memang berbeda dengan zaman konvensional. Saat ini guru selain mampu secara keilmuan, juga harus memahami teknologi serta mengetahui psikologis anak. Kata para ahli, guru kekinian tidak hanya dituntut mengurai pelajaran akan tetapi metode dan strategi penanganan tepat untuk anak. Guru memang berperan ganda, di satu sisi sebagai pendidik di sisi lain mereka teladan sebagai orang tua pengganti selama di sekolah.

Sangat tepat sekali ketika peringatan hari guru 2021 ini bertemakan "Bergerak Dengan Hati Pulihkan Pendidikan". Tema ini dirasa sangat relevan bahwa untuk menjadi seorang pendidik yang berhasil tentu memperlakukan sesuatu dengan hati. Karena sesuatu yang berasal dari hati akan kembali ke hati. Di tengah masifnya teknologi tentu hati diperlukan untuk mendeteksi bahwa saat ini kita justru diperbudak oleh teknologi sehingga kebaikan hati sudah tidak ada lagi. Dengan melihat kenyataan itu rasanya hati harus terus diasah agar ia tajam dan peka terhadap perubahan. Sekalipun begitu tetaplah hati yang menjadi pedoman di tengah rasa kemanusiaan yang mulai hilang.

*Selamat hari guru, semoga guru-guru selalu dalam lindunganNya dan diberikan keikhlasan dalam medan pengabdian.

the woks institute l rumah peradaban 25/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde