Langsung ke konten utama

Warkop Rumahku?




Woks

Sore itu aku menjalankan rutinitas harian berupa donor wifi di warkop. Seperti biasanya warkop selain murah ia juga memberi wifi sak loss e dan tentunya kopi sebagai menu utama. Cukup dengan 2500 rupiah kopi dan wifi setidaknya telah menjadi teman hingga sore hari.

Selama memanfaatkan wifi warkop tentu aku tidak sendiri. Di sana ada banyak orang datang silih berganti. Mereka datang entah sekadar ngopi, jagongan sana-sini, mendawai game, hingga numpang tidur. Banyak pengalaman yang aku dapatkan selama bercengkrama dengan kopi di warkop tersebut. Kali ini ada seorang yang ditegur oleh si pemilik warkop karena ia sudah 3 hari belum pulang ke rumah.

Pemilik warkop merasa gusar kenapa anak tersebut tak kunjung pulang. Ia khawatir jika ketidakinginanya pulang disebabkan karena adanya warkop dan wifinya. Lantas si pemilik warkop bertanya sekaligus menegaskan kenapa hal itu terjadi. Apa memang jangan-jangan ia punya masalah di rumah sehingga menyebabkan dia murung dan terus betah di warkop.

Lalu sejenak si anak tersebut bercerita bahwa rumahnya kini bukanlah tempat yang nyaman. Rumah berubah seperti penjara dan monster adalah penghuninya. Hidup selalu diambang nestapa dan penuh tekanan. Ia merasa perlu melampiaskan semua itu. Di sinilah warkop menjadi juru selamat. Ia seperti disambut seorang petugas panti yang tengah memberi salam untuk merangkul dan mempersilahkan dengan ramah.

Warkop atau barangkali jalanan memang selalu menjadi pilihan di tengah keadaan rumah yang kian tak nyaman. Orang-orang mudah pergi dan tak ingin kembali. Broken home menjadi salah satu akibat dari semua masalah itu. Lantas mengapa orang memilih warkop ketimbang masjid misalnya? Karena memang masjid sejak lama tidak mampu menampung hal-hal problematik seperti itu.

Masjid selama ini masih berfungsi sebagai rumah ibadah. Akan tetapi kadang hati miris, masjid mengalami penguncian sehingga masjid terasa ekslusif. Orang-orang makanya mudah lari ke tempat yang seharusnya bukan menjadi tempat pelarian. Maka rasanya tidak salah jika warkop menjadi pilihan untuk orang setidaknya menenangkan pikirannya.

Sebenarnya tidak ada tempat yang terbaik di muka bumi ini selain kenyamanan itu sendiri. Karena semewah atau selengkap apapun fasilitas dalam rumah atau hotel jika rasa nyaman tidak ada maka akan percuma. Sehingga kita akan memilih bahwa gubuk dengan kedamaian lebih baik daripada istana yang penuh dengan kemuramdurjaan.

the woks institute l rumah peradaban 12/11/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde