Langsung ke konten utama

12.12




Woks

Seperti kebanyakan orang Indonesia selalu senang dengan tradisi menebak-nebak keberuntungan. Tidak hanya hewan yang dilibatkan misalnya ketika menebak skor kemenangan suatu klub sepakbola dan lainya, angka pun juga tak kalah turut serta diperbincangkan. Soal angka masyarakat kita menyebutnya dengan "angka cantik". Entah indikator apa sehingga angka itu menjadi cantik, mungkinkah mereka bersolek.

Orang-orang menyebut angka cantik sebagai simbol hoki dalam tradisi Tionghoa setidaknya karena angka itu langka, berawal atau berakhiran sama atau diapit di antara keduanya. Angka itu juga mudah diingat bahkan sering dikaitkan dengan mitos tertentu. Angka memang tak pernah lepas dari tradisi hidup mati manusia. Sebagai bangsa yang tradisi dan budayanya kental angka selalu dilibatkan misalnya menentukan hari pernikahan, boyongan rumah, memulai usaha, hingga yang ironis memaksakan hari kelahiran anak.

Sejak dulu kita memang gila angka dan angka selalu menjadi tanda bahwa sesuatu pernah terjadi. Rangkaian sejarah selalu berkaitan dengan angka baik itu waktu, hari, bulan, dan tahun. Semua terangkum dalam kaleidoskop kehidupan. Apalagi saat ini teknologi membantu memulihkan daya ingat manusia yang mudah lupa diri. Angka-angka bersliweran menandakan waktu bahagia hingga duka datang silih berganti.

Bisa dibayangkan ketika kita berjumpa dengan angka 30 September, 25 Desember, 26 Desember, tahun 65, tahun 98, 12.12.12, 10 Muharram, pasti selalu membawa ingatan tersendiri. Tragedi duka, pilu tragis atau apapun itu menjadi ingatan kolektif yang setiap tanggal tersebut kita selalu membahasnya dengan monoton. Apalagi ciri masyarakat kita adalah latahan maka sering sekali mudah mengaitkan sesuatu dengan kepercayaan klenik dan lainya. Orang-orang nampak semangat jika sudah bicara topik takhayul, ramalan, feng shui, shio, nujum, astrologi atau dalam tradisi Jawa dikenal dengan neptu/neton.

Angka selama ini dan akan datang memang akan selalu jadi simbol akan sebuah makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Ia tidak hanya kumpulan hitung dari 0 sampai tak terhingga akan tetapi sebuah ruang waktu yang penuh misteri. Saking misterinya angka memiliki makna magis tersendiri. Angka juga tidak sekadar numerik simbol konversi hitung tapi lebih dari itu yang selalu bersifat transenden. Misalnya saja menurut Mbah KH. Maemun Zubair bahwa di balik angka kemerdekaan Indonesia 17.8.45 juga sangat dalam maknanya dan tidak sembarang orang mampu merumuskan angka itu kecuali Dia yang Ahad, tiada awal dan akhir, tidak berbilang, tidak beranak lagi diperanakan, Dia Esa.

Sebenarnya angka dalam dimensi ruang waktu ini ingin mengajari kita bahwa dunia ciptaanNya ini tidak lahir dari ruang hampa. Semua mengandung ilmu dan pelajaran tersendiri bagi umat berpikiran. Sehingga dengan begitu manusia sebagai "hayawanu natiq" harus pandai-pandai menempatkan pikiran dan hati dalam jagat yang penuh hakikat ini. Masihkah kita meyakini akan yang untung, rugi, nahas dan lainya kecuali hanya Tuhanlah yang tahu akan semua itu.

the woks institute l rumah peradaban 12/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde