Langsung ke konten utama

Jagong Gayeng bersama Ustadz Fahyuddin




Woks

Baru pertama ini aku bertemu beliau. Di tahun-tahun sebelumnya sangat sulit sekali bertemu dengan beliau. Ya, Ustadz Fahyuddin begitulah nama yang tak asing di lingkup Yayasan Nurul Hikmah Haurgeulis. Beliau merupakan menantu dari KH. Mukhtar Dahlan muassis Yayasan Nurul Hikmah Haurgeulis. Dari dulu hingga kini beliau tetap berposisi sebagai sekretaris yayasan.

Di suasana malam yang dingin itu aku mencatat banyak hal dari diskusi bersama beliau. Pertama, dalam menghadapi hidup itu kita harus sabar. Kesabaran tentu kita tahu bahwa itu sikap yang sulit untuk diterapkan apalagi jika sudah dihadapkan dengan masalah. Di sanalah kesabaran akan nampak berharga. Selain itu keikhlasan adalah kunci utama. Jangan sampai perjuangan dan pengorbanan kita sia-sia cuma karena kita belum ikhlas. Maka dari itu keikhlasan adalah esensi dari ibadah yang ternilai.

Kedua, jika masalah sudah ada di hadapan kita segeralah meminta solusi kepada Allah bahkan sebelum masalah itu ada. Berserah dan berpasrah kepada Allah tujuannya tak lain selalu dekat denganNya. Jangan sampai kita hanya ingat Allah ketika lapang saja.

Ketiga, jika ada konflik dengan sesama mengalahlah terlebih dahulu. Lihat dari jauh agar timbul objektif. Setelah itu barulah kita menengahi di mana akar permasalahannya. Kita ingat peristiwa pelengseran Gus Dur dari tahta kepresidenan. Beliau memilih mengalah dan pilih itu lebih arif jika dibandingkan dengan posisi jabatan. Bagi Gus Dur mengalah bukan berarti kalah justru ia memberi contoh akan arti sebuah kepahlawanan. Dan sikap itu adalah tipe pemimpin sejati.

Keempat, jika kita berada di jalur yang benar selemah apapun kita harus melawan. Jangan sampai kebenaran kalah dengan kebatilan. Haram hukumnya jika orang baik diam saja di antara kemungkaran. Maka dari itu sampai titik darah penghabisan kebenaran harus dipertahankan.

Kelima, di manapun kita berada kedepankan ilmu dan akhlak. Hanya kedua senjata itulah kita dapat hidup dengan bijak dan tenang. Ilmu sebagai pedoman dan akhlak sebagai pondasi. Dengan begitu manusia nampak berharga dan dihargai.

Barangkali itulah beberapa ilmu yang dapat aku catat ketika bertemu dengan beliau. Ilmu yang berharga itulah diharapkan menjadi bekal di hari esok untuk kita tetap arif dan bijaksana ketika sudah berada di tengah masyarakat.

the woks institute l rumah peradaban 28/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde