Langsung ke konten utama

Orang-orang Picik




Woks

Saya geram ketika bertemu dengan orang-orang yang pikiranya sempit. Pasti anda temui juga orang semacam ini. Jika bertemu tentu akan membuat kesal. Tidak hanya bertemu mencium bau status medsosnya saja mungkin anda tak sudi. Betapa tidak ia selalu melakukan hal-hal yang cupit alias pandir.

Misalnya saja beberapa waktu lalu bahkan sudah beberapa kali saya selalu mendapat warning karena alasan sering memposting Prof. Quraish Shihab, Kang Jalal, Gus Dur, Cak Nur, Gus Ulil, dan segala atribut-atributnya seperti quote hingga pemikirannya. Alasan mereka memperingatkan saya adalah karena tokoh tersebut terkenal liberal, sekuler, syiah hingga ahlul bid'ah.

Ketika saya meminta rasionalitas apa yang salah dari tokoh tersebut ternyata jawaban mereka masih sangat global dan jawaban itu cenderung monoton. Misalnya saja jawaban mereka hanya, "mereka itu berbahaya karena non-ahlusunnah", "mereka itu pengasong antek Barat" dan lainya. Padahal mereka sendiri mengatakan dirinya tidak punya ilmu. Mereka berani memberi peringatan kepada orang lain atas dasar dari gurunya. Barangkali niatan demikian sangatlah baik akan tetapi maksudnya mengapa seberani itu. Padahal secara kapasitas keilmuan mereka sangatlah dangkal.

Saya tidak habis pikir mereka berpikir terlalu kaku. Berpikir yang cenderung homogen, monoton hanya itu-itu saja. Barangkali hanya karena taklid buta dan tak ada upaya pencarian yang lain. Sehingga hidup terasa suci dan benar sendiri. Maka saya ingat kata Muhidin M. Dahlan bahwa iman yang tidak menerima goncangan adalah keimanan yang ilusif, penuh tipuan. Mereka merasa perlu memberi peringatan tak lain karena posisi mereka sendiri dalam zona nyaman.

Jika sudah merasa suci tentu ini penyakit hati yang berbahaya. Selain kebodohan merasa suci juga tak kalah berbahayanya. Mata tertutup dan menganggap orang lain di luar pikiran dan komunitasnya adalah salah. Berpikir dengan kaca mata kuda yang lurus memang tidak sepenuhnya benar karena hal itu hanya akan membuat pikiran menjadi kaku dan eksklusif. Maka pikiran terbuka sangatlah penting demi mewujudkannya keputusan yang inklusif. Orang akan berpikir jernih terlebih dahulu sebelum bertindak.

the woks institute l rumah peradaban 8/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde