Langsung ke konten utama

Mengaktifkan Sistem Ruhani




Woks

Salah satu ciri wali Allah selain rasa takut juga tak banyak mikir. Itu artinya bahwa mereka sedang bersandar pada keyakinan bahwa Tuhan begitu dekat dan akan memberikan setiap jalan bagi hambanya yang mengalami kebuntuan. Hal-hal semacam inilah yang menjadi indikator kepasrahan total yang menjadikan manusia berpredikat muttaqin.

Siapa bilang menjadi orang bertaqwa itu mudah, tentu akan sangat sulit jika hanya dalam angan-angan. Maka dari itu seseorang yang berpuasa puncaknya adalah menjadi manusia bertaqwa. Jika mereka kesulitan bagaimana merealisasikan taqwa maka Qur'an mengajarkan lewat kisah para pendahulu salah satunya Nabi Ibrahim as.

Cerita kepasrahan Nabi Ibrahim as yang meninggalkan Siti Hajar dan putranya Ismail merupakan kisah yang luar biasa. Betapa tidak jika dinalar logika tentu tak akan ketemu ujungnya. Bisa dibayangkan betapa teganya Nabi Ibrahim sebagai bapak meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir tandus dengan sengatan matahari yang panas. Di sana tidak ada apa-apa kecuali lautan pasir luas nan menyengat. Akan tetapi karena maqam ruhani mereka telah sampai pada kepasrahan kepada Allah maka mereka berhusnudzan saja. Dengan begitu hati menjadi tenang dan pikiran akan berkata bahwa semua ini pasti akan ada solusinya.

Keyakinan Nabi Ibrahim melalui petunjuk Allah ternyata benar bahwa di tempat itu merupakan tanah haram alias tanah mulia. Tanah yang tidak ada apa-apa jistru akan menjadi kiblat bagi umat manusia. Tentu hal ini yang di mana dalam sejarah Allah mengabadikan kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya itu dalam ritus haji yang tiap tahun selalu dirindukan umat Islam seluruh dunia.

Begitulah atas kuasa Allah semua hal bisa jadi mungkin. Di tanah kering bebatuan tersebut kini berdiri baitul atiq atau Ka'bah. Sebuah monumen suci akan ketakwaan orang pilihan bahwa dalam ketidakmungkinan pasti ada kemungkinan. Kebenaran itu mutlak milik Allah semata. Di sinilah dahsyatnya ketakwaan yang bersandar kepadaNya.

Yang dicontohkan Nabi Ibrahim tentu merupakan pengamalan menjadi muttaqin dan tentunya hal itu harus muttasil, bersambung kepada sang pencipta. Inilah yang dalam bahasa kita adalah bangunan sistem online yang sudah terkoneksi sejak ribuan tahun silam. Sehingga tidak salah jika bertawasul sebenarnya merupakan cara logis sebagaimana pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam teknologi pesawat telepon.

Begitulah Nabi Ibrahim, beliau tau bagaimana cara mengaktifkan fungsi kepasrahan melalui ruhani. Sehingga orang dulu itu ruhani dulu yang diurusi sedangkan saat ini orang modern sibuk mempercantik jasmani. Dengan hanya memperhatikan jasmani maka manusia membangun sistem inkonsistensi yang justru menumpulkan sistem ruhani tersebut. Maka melalui Nabi Ibrahim kita belajar bahwa selesaikan dulu perihal bersama asma Allah, apa yang dilihat adalah Allah. Jika semua hal adalah Allah maka kita lebih banyak husnudzon dan kepasrahannya bahwa semua hal akan ada solusinya.

*Disarikan dari ceramah KH. Ahmad Muwafiq Edisi Puasa Umat-umat Terdahulu

the woks institute l rumah peradaban 11/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde