Langsung ke konten utama

Gerbang Kampus




Woks

Jika misalnya mahasiswa ditanya bagian bangunan apa yang tidak diinginkan di kampus? rerata menjawab adalah pos satpam atau gerbang kampus. Tapi apakah mungkin atau apakah ada kampus tanpa dua bangunan itu. Jika merujuk istilah kampus merdeka seharusnya ada. Tapi sayangnya kemerdekaan di sini hanyalah metafora. Semua hal itu tak benar-benar terjadi seperti halnya Ahmad Munji (Dosen UGM) yang berkeluh-kesah bahwa dalam birokrasi kampus kita masih njlimet soal administrasi hingga ke pemerintahannya.

Pertanyaan masih harus diulang mengapa pula mahasiswa tidak menginginkan adanya pos satpam atau gerang kampus. Tentu alasanya sederhana, selama ini satpam si penunggu gerbang kampus itu semakin menunjukkan arogansinya. Terlepas itu settingan atau bukan yang jelas sosok mereka benar-benar tidak diinginkan mahasiswa. Bayangkan saja sikap garang mereka membuat mahasiswa takut untuk masuk kampus. Apakah murah senyum dan sikap baik tidak boleh ada pada seorang satpam?

Walaupun tidak semua satpam demikian akan tetapi di lapangan lebih mayoritas demikian. Tidak hanya sikap satpam, kebijakan alias peraturan kampus kian hari semakin njlimet harus ini harus itu. Sehingga ketika mahasiswa tidak sesuai dengan peraturan maka tidak diperkenankan untuk masuk kampus. Dengan begitu lengkap sudah mahasiswa dan kampusnya mengalami kesenjangan. Lagi-lagi hal ini yang membuat mahasiswa dan kampusnya terasa jauh.

Mahasiswa akan memilih tempat seperti warkop. Di sana penuh dengan kenyamanan sedangkan kampus justru semakin berdesak-desakan. Seharusnya kampus disetting seperti tempat wisata sehingga proses belajar terasa nyaman. Belajar tidak lagi menakutkan apalagi njilemet yang outputnya hanya formalitas belaka.

Terakhir demikian lah barangkali kisah di mana mahasiswa harus berhadapan dengan satpam. Masuk kampusnya dengan penuh prosedural. Gerbang dan satpam menjadi tembok penghalang. Tapi apa mau dikata, dalam dunia kampus bahkan di masyarakat gerbang lagi-lagi masih dikultuskan sebagai simbol sebuah dimensi yang elegan, berwibawa, berkharisma dan selalu terdepan. Jika anda dapat mematuhi segala aturan maka masuklah ke kampus dengan sepuasnya. Kampus memang hanya boleh dimasuki oleh mereka yang rapih dan penuh kesopanan.

Gerbang kampus barangkali simbol sebuah kekuasaan. Kita pasti punya pengalaman pahit manis ketika melewati bangunan yang satu ini. Di sana ada keramahan dan kekakuan. Gerbang kampus tidak hanya sekadar pintu masuk keluar akan tetapi simbol harapan yang selalu menjadi tujuan.

the woks institute l rumah peradaban 1/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde