Langsung ke konten utama

Muktamar NU Dalam Catatan




Woks

Dalam perdiskusian panjang perhelatan muktamar NU selalu menjadi topik menarik sekaligus sorotan baik media dalam maupun luar negeri. NU dan sejarahnya memang selalu asyik disimak karena organisasi ini sudah antik sejak didirikan tahun 1926 tersebut. Salah satu keunikan NU dalam perhelatan muktamar ada sebuah pernyataan yang saya dengar bahwa muktamar di luar Jawa akan selalu sejuk dan adem. Berbeda muktamar yang dihelat di pulau Jawa suhu ketegangannya benar-benar sangat terasa.

Salah satu sumbu ketegangan muktamar bisa kita ingat pada waktu muktamar ke-33 di Jombang. Bahkan saking tegangnya Pjs Rais Aam KH. Mustofa Bisri sampai berkata apa perlu menciumi satu persatu kaki muktamirin yang sulit meredam emosinya. Begitulah muktamar dan pernak perniknya. Yang jelas dalam muktamar ke-34 di Lampung juga tak kalah menariknya untuk dicermati.

Tentu perhelatan muktamar sejak awal NU berdiri hingga kini memiliki kekhasanya tersendiri. Dulu sejak 1926 hingga menjelang kemerdekaan muktamar digelar sampai 15 kali dan hampir tiap tahun. Barulah kemudian muktamar digelar 5 tahun sekali. Yang perlu disorot dalam muktamar tentu selain rais aam dan ketua terpilih tentu hasil keputusan muktamar juga tak boleh dilewatkan. Pada muktamar 19 Mei 1936 di Banjarmasin kita ingat NU mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah negara darussalam bukan darul Islam, darul harb atau darul shulh. Keputusan itu tentu sangat penting dalam sejarah Indonesia ke depanya sebagai negara demokrasi.

Sejak tahun 1971, muktamar ke 26 Semarang hingga 1984 di Situbondo NU kembali ke khittah dan menerima asas tunggal pancasila. Keputusan muktamar yang menghasilkan KH. Ahmad Shidiq sebagai rais aam dan Gus Dur sebagai ketua tanfidziyahnya sangatlah revolusioner karena pada saat itu Pancasila dirasa perlu untuk dikukuhkan sebagai asas final baik sebagai ideologi bangsa secara umum dan khususnya NU sebagai organisasi.

Pada Desember tahun 1994 muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tentu menjadi saksi puncak ketegangan utamanya antara Gus Dur dan orang-orang bawaan Soeharto. Pada muktamar di tempat Ajengan KH. Ilyas Ruhiyat itu nampaknya menjadi event yang benar-benar panas. Pasalnya Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid kala itu sebenarnya tidak ingin lagi maju menjadi kandidat ketua PBNU. Akan tetapi karena situasi genting, beliau maju kembali untuk ketiga kalinya. Alhasil Gus Dur terpilih kembali dan menyingkirkan pesaingnya Abu Hasan. Salah satu keputusan menarik di muktamar ini adalah NU menolak segala bentuk atau upaya perusakan alam atas nama apapun. Intinya NU ingin berkontribusi dalam upaya pencegahan deforestasi dan pelestarian lingkungan.

Barulah semakin ke sini muktamar membawa kisahnya tersendiri di antaranya muktamar ke-32 di Makassar dan ke-33 di Jombang Kiai Said terpilih dan yang baru kemarin yaitu ke-34 di Lampung Gus Yahya terpilih menahkodai menuju 1 abad NU. Pada muktamar ke-33 di tempat kelahiran pendiri NU tentu sangat mengalami keriuhan salah satunya karena tema besarnya itu "Islam Nusantara". Tema tersebut tentu sebuah gagasan besar sekaligus menjadi perbincangan hangat semua kalangan termasuk mereka yang kontra.

Pada muktamar ke-34 di Lampung tentu sesuai dengan opini publik bahwa suasanya sangatlah adem. Di tengah tarik ulur akibat pandemi akhirnya muktamar ini digelar juga dan menghasilkan duet KH. Miftachul Akhyar sebagai rais aam dan KH. Yahya Cholil Staquf sebagai ketua tanfidziyahnya. Ada banyak pelajaran yang kita dapatkan dalam muktamar di Pondok Pesantren Darus Saadah tersebut di antaranya keteladanan yang dicontohkan oleh kedua calon ketum PBNU yaitu KH. Said dan KH. Yahya bahwa NU bagaimana pun harus jadi contoh bukan seperti perebutan kursi ala partai politik.

Keduanya merupakan anak ideologis Gus Dur. KH. Said yang sudah dekat dengan Gus Dur sejak masih di Makkah dan Gus Yahya tak lain merupakan juru bicara di era Presiden Gus Dur. Keduanya juga alumni dari guru yang sama yaitu KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Hal inilah yang juga menjadi angin segar bagi banyak orang terutama soal ketersambungan sanad. Sehingga dengan begitu tidak ada alasan untuk pecah karena sebuah posisi.

Sebagai orang dekat Gus Dur mereka berdua tentu berkapasitas dan punya gagasan yang sama untuk terus mendakwahkan Islam ramah, moderat dan toleran. Selain itu keduanya juga sebagai lokomotif yang bergerak menghidupkan ajaran Gus Dur. Dengan begitu muktamar NU ke-34 di Lampung ini mengafirmasi bahwa perhelatan hajatan tertinggi NU tersebut memanglah adem, sejuk dan menggembirakan. Semoga saja menuju satu abadnya NU bisa lebih baik dan menyongsong masa depan dengan organisasi yang lebih dewasa dan mandiri.

the woks institute l rumah peradaban 25/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde