Langsung ke konten utama

NU dan Tantangan Mayoritarian




Woks

Sebagai salah satu organisasi besar NU dianggap menjadi jangkar kalangan akar rumput khususnya masyarakat Islam tradisional sedangkan MU dianggap mewakili kalangan yang lebih modern. Tapi seiring berjalannya waktu kedua organisasi made in Indonesia ini sesungguhnya saling melengkapi. Bahkan di era modern ini NU sedang merangkak menimang modernitas, salah satunya dengan banyaknya pemikiran dan kolaborasi NU yang lahir bersama teknologi dan kebutuhan praktis zaman kini.

Beberapa kali NU telah merangkak maju menuju abad baru bahkan NU sedang mempersiapkan kuda-kudanya menuju abad kedua. Tentu NU akan menjadi angin segar di mana organisasi ini menuju kedewasaannya. Akan tetapi untuk menuju ke sana pasti tidak mudah, NU akan menghadapi banyak hal yang akan menjadi tantangan ke depan salah satunya adalah peluang menjadi mayoritas.

Tidak menutup kemungkinan bahwa menjadi mayoritas juga merupakan polemik tersendiri. Tidak hanya NU, agama sebagai instrumen yang mengantarkan kepada kebenaran haq juga bisa menjadi ancaman tersendiri. Bagaimana tidak Nabi Muhammad saw telah memprediksi bahwa umat Islam akan menjadi mayoritas akan tetapi sayang sekali keadaanya seperti buih di lautan. Hal itu di dasari karena multi persepsi, dalam memahami agama pun begitu juga pada NU yang sejak ramai pilpres, NU seolah terpecah dengan banyak garis seperti garis keras, garis lurus hingga NU kaffah. Walaupun hal itu hanya sebagai doktrin yang parsial setidaknya ini menjadi pekerjaan rumah NU baik dari kalangan struktural maupun kultural.

Mayoritarian adalah salah satu tantangan ke depan bagi NU dalam melawan diri sendiri. NU secara kuantitas tentu akan terus membesar secara anggota dan meluas secara jaringan. Lebih dari itu NU telah menjadi salah satu kunci dalam peta perpolitikan serta memainkan peran geopolitik internasional. Di sinilah tantangan NU untuk bagaimana mempersiapkan, mengkader dan membina generasi yang ada utamanya kini dominasi kaum muda.

Peneliti LIPI Amin Mudzakir punya pandangan khusus terkait tantangan NU ke depan yaitu tentang NU dan masyarakat kelas serta NU dan santri dengan segala keterbatasannya (pretariat). Menurut Amin dalam hal diskursus kajian intelektualnya NU hampir melupakan masyarakat kelas yang ada di kalangan akar rumput. Seperti halnya negara, NU juga harus berpikir tentang kesejahteraan anggotanya. Maka ke depannya usaha untuk mensejahterakan anggota juga merupakan aktivitas yang tak kalah pentingnya dibanding melulu fokus pada wacana deradikalisasi dan pluralisme.

Hal itu juga berlaku pada santri yang selama ini hanya dipandang sebagai subjek yang pasrah dan penuh keterbatasan. Santri selalu dipandang sebagai pelajar tradisional yang kalah dengan pelajar modern. Mereka seolah hanya menjadi personifikasi kaum proletar yang harus berjuang demi ilmu dan menghidupi dirinya. Hal inilah yang juga penting untuk menjadi perhatian NU ke depanya. Jika hanya berkutat dengan deradikalisasi dan isu pluralisme rasanya terlalu bosan kita mendengarnya. Walaupun tidak bermaksud abai, setidaknya penanganan itu memang perlu upaya dari semua pihak termasuk masyarakat dan pemerintahan. Padahal kita tahu nationalism issue sudah final utamanya bagi kalangan Nahdliyyin.

Kini sudah saatnya NU mempersiapkan diri jika secara keanggotaan telah besar maka bagaimana meramu yang mayoritas tersebut. Utamanya soal pemberdayaan ekonomi demi kesejahteraan anggotanya. NU harus jeli dalam menjawab tantangan zaman. Jangan sampai peluang besar ini disiakan begitu saja dengan karena terlalu sibuk memikirkan demokratisasi melalui suksesi kepemimpinan lantas NU lupa akan tugas lainya yaitu membawa anggotanya menuju pintu gerbang kemerdekaan. Baik merdeka secara pengetahuan, keagamaan, kedewasaan hingga kesejahteraan.

Pada muktamar ke-34 di Lampung ini tentu kita berharap NU akan terus menjadi garda terdepan baik bagi bangsa, agama, ideologi hingga rakyat itu sendiri. Dengan tema kemandirian harapan besarnya NU dengan jumlah anggota sekitar 46% dari penduduk Indonesia dapat mewujudkan cita-cita besar yaitu kesejahteraan bagi seluruh warganya. Tidak hanya itu kemandirian tersebut juga bisa menopang dan memberi dampak bagi peradaban dunia. Tinggal saat ini kita bertanya apa langkah kita selanjutnya. Selamat bermuktamar, semoga sukses lindungilah para muktamirin dan kiai kami. Al Fatihah.

the woks institute l rumah peradaban 22/12/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde