Langsung ke konten utama

Hari Ibu Yang Diperdebatkan





Woks

Di Indonesia setiap memperingati hari tertentu pasti ada saja sesuatu yang ramai. Keramaian itu minimal terdapat komentar miring seputar momen peringatan hari tersebut. Misalnya saja tiap tahun kita tak pernah usai berdebat soal ucapan selamat natal setiap tanggal 25 Desember termasuk 22 Desember hari ibu kemarin.

Misalnya seseorang dengan sinis mengatakan, "hari ibu kok tanggal 22, hari ibu itu setiap hari". Sebenarnya tidak salah ungkapan tersebut cuma apa salahnya jika kita memperingati hari tersebut. Kadang orang yang sinis tersebut pun belum tentu melakukan hal-hal baik untuk ibunya di setiap harinya. Hal itu hanya dalih ketidaksukaan karena momen peringatan hari-hari tersebut dibuat oleh orang non-muslim.

Sebenarnya tidak salah memperingati hari ibu setiap tanggal 22 Desember tersebut. Salah satunya pesan dari Ustadz Nuryani seorang pendidik Bahasa Arab di UIN Tulungagung berkata bahwa setiap hari adalah hari ibu tapi hari ini titik tolak untuk mengingatkan yang alpa tentang kebesaran jasanya. Dengan memperingati hari ibu tersebut seperti kata Ustadz Nuryani bahkan kita memang mudah lupa akan jasanya. Tentu kita ingat ungkapan bahwa satu orang ibu bisa menghidupi 10 orang anaknya akan tetapi 10 orang anak belum tentu bisa menghidupi satu orang anak.

Tidak salah juga jika kita memperingati hari ibu tersebut alasan lainnya misalkan jika tiap hari kita membaca doa hanya 5 kali nah jika di hari ibu bisa dilebihkan menjadi 50 kali. Jika di hari biasa kita hanya bisa memberi uang 50 ribu jika di hari spesial itu kita berikan 500 ribu. Atau jika di hari biasa kita tidak begitu spesial maka di hari ibu kita bisa memberikan surprise kepada beliau. Maka dengan begitu pada tanggal tersebut adalah hari puncak kita memuliakan ibu. Lantas dengan begitu apa salahnya.

Sebenarnya yang salah adalah pikiran kita sendiri. Pikiran yang sudah terlanjur menolak segala hal perayaan. Padahal selama itu baik apa guna pertentangan. Seharusnya kita bersikap arif dan bijaksana. Hari apapun itu yang terpenting adalah esensinya. Sekarang apakah anda sudi mengatakan ibu aku cinta padamu. Mulai hari ini dan seterusnya aku memohon maafa atas segala khilaf dan dosa semoga Allah SWT berkenan memberikan rahmatnya kepada ibu dan keluarga.

the woks institute l rumah peradaban 24/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde