Langsung ke konten utama

Review Buku Matinya Kepakaran Karya Tom Nichols




Woks

Siapa yang disebut pakar itu? apakah setiap orang bisa disebut pakar karena keahlianya. Misalnya para profesor apakah disebut pakar karena telah menemukan berbagai teori dan penemuan. Bisa jadi mereka disebut pakar karena telah lebih concern ketimbang kita yang merasa serba tahu. Dalam buku Matinya Kepakaran yang disebut pakar yaitu mereka secara pendidikan mencapai puncak dan konsentrasinya, lalu mereka memiliki bakat dalam bidang yang digelutinya, telah melewati panjangnya pengalaman dan mendapat pengakuan dari orang lain. Jadi di luar itu pakar hanya ilusi alias bisa diklaim sepihak oleh siapa saja. Hal itulah yang terjadi di media sosial dewasa ini.

Bagi Nichols para pengguna media sosial itu sudah kelewat batas misalnya soal pilihan kata, masih banyak orang yang menyebut orang lain bodoh ketimbang tidak tepat. Di dunia kampus pun demikian tak ubahnya seperti toko yang berjualan. Nichols mengkritik guru yang kaku bahwa mereka benar dan murid salah. Juga termasuk kampus yang mencetak kaum pekerja.

Barangkali buku Nichols ini sengaja hadir untuk mencerahkan khususnya dalam media sosial yang penuh riuh perdebatan. Bias informasi lagi-lagi menjadi faktor mengapa perdebatan sengit selalu muncul di media. Tak peduli orang pandai atau orang bodoh semua tumpah tuah di sana. Sehingga kita kesulitan membedakan mana yang ahli atau bukan. Dengan begitu kita bisa menerka inilah kegagalan pendidikan.

Di internet kita juga sering mudah tertipu misalnya soal judul. Di sana judul hanya untuk mengelabui sedangkan isinya tidak terlalu penting selain iklan. Matinya kepakaran karena human like dan subscribe. Begitulah jurnalis gaya baru hanya ambisi atau hasrat pasar bukan inovasi termasuk mereka yang mudah komentar tanpa berpikir. Maka kita bisa melihat orang pakar bisa membunuh kepakaranya karena bergelut dengan hal-hal yang tidak penting. Jika kepakaran tidak lagi dipercaya ini yang bahaya. Membahayakan ilmu pengetahuan hingga agama.

Sejatinya pakar itu bukan soal ilmu tapi soal sikap. Sejauh mana sikap seseorang di media bisa dianalisa lewat sikap yang ditunjukkan. Apakah mungkin sikap rendah ditunjukkan oleh seorang pakar. Akan tetapi faktanya di atas sebuah kepentingan orang sering lupa diri entah ia sebagai pakar ataupun orang biasa. Begitulah media dengan kemampuan nirbatas justru menciptakan dehumanisasi atau kehilangan sentuhan kemanusiaan.

Lagi-lagi perpecahan adalah soal bahasa. Manusia sebagai homo laquen tentu bisa sangat mudah bicara apa saja tanpa mempertimbangkan etika yang berlaku. Misalnya ketika dulu orang-orang dengan mudah bicara bahwa bumi ini datar dan tanpa beban mereka berdebat. Tanpa di dasari sikap ilmiah perdebatan seperti halnya dulu telur atau ayam menjadi tak berkesudahan. Teks bisa ditafsirkan secara bebas maka dari itu harus hati-hati dan kritis dalam bermedia. Teks sebagai medan perebutan makna harus disikapi dengan cermat. Sehingga jika tak mampu berkomentar di media lebih baik diam.

Perihal media perlulah kita sebagai pembaca memahami teks seperti halnya melihat teks penulis, diarahkan kepada siapa, dan siapa pembacanya. Dengan begitu seorang pembaca akan lugas memilih sikap yaitu turut serta dalam perdebatan tak berujung atau memilih media lain dalam menyampaikan pendapatnya. Inilah ujian pengguna media untuk tetap kritis dan waras.

Barangkali membaca buku ini menjadikan kita untuk tetap rendah hati. Buku yang sejatinya mengandung banyak makna akan pentingnya saring sebelum sharing, berpikir sebelum bertindak dan menggunakan daya pikir sebagai nikmat pemberian Tuhan.

the woks institute l rumah peradaban 26/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde