Woks
Siapa yang disebut pakar itu? apakah setiap orang bisa disebut pakar karena keahlianya. Misalnya para profesor apakah disebut pakar karena telah menemukan berbagai teori dan penemuan. Bisa jadi mereka disebut pakar karena telah lebih concern ketimbang kita yang merasa serba tahu. Dalam buku Matinya Kepakaran yang disebut pakar yaitu mereka secara pendidikan mencapai puncak dan konsentrasinya, lalu mereka memiliki bakat dalam bidang yang digelutinya, telah melewati panjangnya pengalaman dan mendapat pengakuan dari orang lain. Jadi di luar itu pakar hanya ilusi alias bisa diklaim sepihak oleh siapa saja. Hal itulah yang terjadi di media sosial dewasa ini.
Bagi Nichols para pengguna media sosial itu sudah kelewat batas misalnya soal pilihan kata, masih banyak orang yang menyebut orang lain bodoh ketimbang tidak tepat. Di dunia kampus pun demikian tak ubahnya seperti toko yang berjualan. Nichols mengkritik guru yang kaku bahwa mereka benar dan murid salah. Juga termasuk kampus yang mencetak kaum pekerja.
Barangkali buku Nichols ini sengaja hadir untuk mencerahkan khususnya dalam media sosial yang penuh riuh perdebatan. Bias informasi lagi-lagi menjadi faktor mengapa perdebatan sengit selalu muncul di media. Tak peduli orang pandai atau orang bodoh semua tumpah tuah di sana. Sehingga kita kesulitan membedakan mana yang ahli atau bukan. Dengan begitu kita bisa menerka inilah kegagalan pendidikan.
Di internet kita juga sering mudah tertipu misalnya soal judul. Di sana judul hanya untuk mengelabui sedangkan isinya tidak terlalu penting selain iklan. Matinya kepakaran karena human like dan subscribe. Begitulah jurnalis gaya baru hanya ambisi atau hasrat pasar bukan inovasi termasuk mereka yang mudah komentar tanpa berpikir. Maka kita bisa melihat orang pakar bisa membunuh kepakaranya karena bergelut dengan hal-hal yang tidak penting. Jika kepakaran tidak lagi dipercaya ini yang bahaya. Membahayakan ilmu pengetahuan hingga agama.
Sejatinya pakar itu bukan soal ilmu tapi soal sikap. Sejauh mana sikap seseorang di media bisa dianalisa lewat sikap yang ditunjukkan. Apakah mungkin sikap rendah ditunjukkan oleh seorang pakar. Akan tetapi faktanya di atas sebuah kepentingan orang sering lupa diri entah ia sebagai pakar ataupun orang biasa. Begitulah media dengan kemampuan nirbatas justru menciptakan dehumanisasi atau kehilangan sentuhan kemanusiaan.
Lagi-lagi perpecahan adalah soal bahasa. Manusia sebagai homo laquen tentu bisa sangat mudah bicara apa saja tanpa mempertimbangkan etika yang berlaku. Misalnya ketika dulu orang-orang dengan mudah bicara bahwa bumi ini datar dan tanpa beban mereka berdebat. Tanpa di dasari sikap ilmiah perdebatan seperti halnya dulu telur atau ayam menjadi tak berkesudahan. Teks bisa ditafsirkan secara bebas maka dari itu harus hati-hati dan kritis dalam bermedia. Teks sebagai medan perebutan makna harus disikapi dengan cermat. Sehingga jika tak mampu berkomentar di media lebih baik diam.
Perihal media perlulah kita sebagai pembaca memahami teks seperti halnya melihat teks penulis, diarahkan kepada siapa, dan siapa pembacanya. Dengan begitu seorang pembaca akan lugas memilih sikap yaitu turut serta dalam perdebatan tak berujung atau memilih media lain dalam menyampaikan pendapatnya. Inilah ujian pengguna media untuk tetap kritis dan waras.
Barangkali membaca buku ini menjadikan kita untuk tetap rendah hati. Buku yang sejatinya mengandung banyak makna akan pentingnya saring sebelum sharing, berpikir sebelum bertindak dan menggunakan daya pikir sebagai nikmat pemberian Tuhan.
the woks institute l rumah peradaban 26/12/21
Komentar
Posting Komentar