Langsung ke konten utama

Domba VS Serigala




Woks

Apa yang ada dalam benak kita ketika mendengar Serigala atau Domba atau Serigala berbulu domba. Tentu Serigala adalah hewan buas yang kerjanya adalah memangsa sedangkan Domba adalah salah satu hewan ternak yang penurut lagi bernilai ekonomis. Sedangkan Serigala berbulu domba adalah istilah pepatah untuk menyebut karakter seseorang penipu ulung berkedok kebaikan, penjagal nama baik, dan Sengkuni.

Demikian tulisan ini dibuka dengan karakter dua hewan yang sejatinya bersemayam dalam diri manusia. Dalam ilmu psikologi Eric Fromm memberikan pandangannya bahwa baik Serigala atau Domba keduanya memiliki kecenderungan yang ada dalam tubuh manusia. Kecenderungan hewani tersebut tentu lebih kompleks lagi dalam dunia tasawuf.

Filsuf Thomas Hobbes memberikan perumpamaan, "homo homini lupus" bahwa manusia adalah Serigala bagi manusia lainya. Itu artinya bahwa sejarah umat manusia tidak lepas dari darah, pengorbanan nyawa, peperangan, perbudakan, dan segenap kuasa ambisi lainya. Sedangkan domba adalah lambang ketundukpatuhan, mudah digiring dan keluguan.

Dua hewan itulah tanpa disadari sangat mudah muncul dalam kepribadian manusia. Apalagi di dunia modern ini manusia yang dianggap domba adalah Maba saat mereka pertama masuk kuliah, para petani, buruh bagi majikanya dan tentunya rakyat jelata bagi para raja. Sedangkan Serigala selalu direpresentasikan oleh mereka yang punya kuasa, otoritas, berduit dan kekuatan.

Lantas adalah jembatan di antara Domba dan Serigala dalam tubuh manusia. Barangkali ada, ia adalah hewan lain seperti Kancil misalnya. Dalam cerita fabel Kancil adalah karakter hewan yang cerdik, penuh tipu muslihat juga cekatan. Dengan segenap ketenangannya Kancil lebih sering beruntung dan selalu lolos dari maut. Kancil tidak memangsa dan juga tidak mudah tunduk terhadap kuasa. Ia justru lambang kritis dan selalu memverifikasi terhadap hal-hal yang belum jelas kebenarannya.

Barangkali Kancil adalah kesadaran, nurani dan logika berpikir. Jika manusia di posisi ini berarti ia tengah memfungsikan sebagian dari pikirannya dan menahan sebagian dari emosi berahinya. Hati dan pikiran masih berpadu dengan jernih sehingga kehidupan adalah hal yang mesti dipertahankan. Kehidupan yang dinikmati adalah ciri manusia biofil atau subjek dalam proyeksi mengisi hasrat kebermanfaatan. Sedangkan lawanya biofil adalah nekrofil yaitu hasrat ingin membunuh dan berkuasa.

Perlu diingat bahwa nekrofil beda tipis dengan istilah sadisme. Jika sadisme adalah kenikmatan untuk menyiksa sedangkan orang nekrofil hanya ingin melihat lawanya lenyap. Dengan begitu kita akan paham jika telah banyak kasus pembunuhan, pelenyapan nyawa atau apapun istilahnya yang jelas serigala tengah menguasai diri manusia. Atau dalam bahasa film manusia serigala alias mereka yang telah kehilangan kemanusiaannya. Jika memang manusia asli tentu tidak akan tega jika nyawa senilai tali plastik.

Manusia asli pasti akan menaruh hormat dengan manusia lainya. Mereka akan saling menyayangi dan saling memberi rasa aman. Manusia adalah setengah dari malaikat dan syeitan yang bisa baik dan menyimpang. Fungsi itulah yang saya kira untuk selalu diperhatikan bahwa kita adalah manusia bukan hewan.

the woks institute l rumah peradaban 6/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde