Langsung ke konten utama

Membangun Tradisi Menulis




Woks

"Pasca lulus kuliah tidak ada yang dibanggakan lagi selain kemampuan membaca dan menulis". -Kak As Aksara

Pesan Kak As di atas begitu mengena. Pesan tersebut disampaikan pada acara Makrab LPM Aksara pada 15 Desember lalu di Aula Wisata Edukasi Kampung Tani Tulungagung. Pesan itu dirasa sangat perlu direnungi terkhusus bagi kawan-kawan yang berkecimpung dalam organisasi jurnalistik.

Kak As yang nama lengkapnya Ahmad Asrori tak lain merupakan Pimpinan Umum LPM Aksara yang pertama. Ia mengatakan hal itu bukan tanpa alasan bahwa sejatinya membaca menulis itu sangatlah penting. Kepentingan itu lebih jauh lagi dikupas oleh Mas Woko Utoro dalam penyampaiannya di sesi Enlighment.

Menurut Woko yang disapa Bang Woks, literasi secara umum dan terkhusus membaca dan menulis berawal dari rasa ingin tahu, sedangkan rasa itu hanya dimiliki oleh anak-anak dan remaja. Ia menganggap bahwa keingintahuan remaja sudah tidak seperti anak-anak dulu. Keingintahuan remaja saat ini sudah tidak orisinil sebagimana anak-anak dulu. Dalam hal membaca misalnya, mereka begitu sulit untuk jatuh cinta pada buku padahal untuk mendapat pacar baru mereka begitu mudah dalam membuka hati.

Menurut Najwa Shihab hanya perlu satu buku untuk jatuh cinta. Tapi rasa ingin tahu yang makin luntur karena teralihkan ke dunia pop itu justru membuat remaja sulit pdkt dengan buku. Lantas Bang Woks memberi satu gagasan untuk "Piknik Ke Buku".

Sebelumnya ia menjelaskan bahwa sebenarnya orang-orang telah membangun tradisi membaca menulis sejak lama yaitu sejak di sekolah dasar. Bisa dibayangkan sejak di SD hingga kuliah sekitar 16 tahun kita diajari membaca menulis bahkan kita tak bisa jauh dari tradisi literasi dasar itu. Tapi mengapa kini kita sendiri yang justru meruntuhkannya. Tradisi yang sudah dibangun lama itu kini justru malah ditinggalkan. Padahal di era digital seperti saat ini tradisi tersebut sangatlah penting digalakkan.

Mengapa tradisi tersebut tidak diminati pemuda setidaknya ada 3 alasan yaitu mental mie instan, apatisme dan materialistik. Pertama, mental mie instan adalah sikap di mana orang tidak ingin berusaha, meninggalkan proses dan maunya langsung jadi padahal semua butuh belajar. Sedangkan belajar itu penat, butuh waktu, modal, sabar, ikhlas dan guru. Kedua, apatisme adalah virus di mana seseorang sudah kehilangan sentuhan ruhaninya. Hidup terasa kaku dan acuh terhadap perkembangan saat ini. Sehingga keinginan untuk berkontribusi menjadi terabaikan. Ketiga, materialistik hampir mendarah daging apalagi di zaman serba canggih ini. Keinginan yang serba uang dan keuntungan itu menjadi tolok ukur utama. Jadi jika tidak menjanjikan hal yang bersifat pragmatis maka orang urung untuk melakukan hal itu. Yang dimaksud tentu kegiatan membaca dan menulis yang tak lain buang-buang waktu, kata mereka.

Maka dari itu kata Bang Woks seseorang itu harus memiliki keimanan akademik yang terdiri atas Iman kemauan, Islam kemauan dan tindakan serta Ihsan yang sudah jadi budaya. Jika sudah tak memiliki kemauan lantas bagaimana ada tindakan yang menjadikannya budaya. Akan tetapi ketika membaca dan menulis itu sudah jadi budaya maka ke depannya akan nyaman tersendiri.

Setidaknya ada 4 cara versi Bang Woks agar kamu suka membaca dan menulis. Pertama, mulailah dengan free reading & writing. Cara pertama ini menstimulus agar orang percaya diri bahwa kegiatan baca tulis sangatlah mudah dan tak kalah menyenangkan dari berwisata. Kedua, happy reading & writing merupakan cara agar seseorang merekayasa kebahagiaannya sendiri akan tetapi dari baca tulis itu kebahagiaan juga bisa dihadirkan secara nyata bukan sekadar rekayasa. Karena kedua ini berkaitan dengan psikologis maka membaca dan menulis itu untuk kebahagiaan dan terapi jiwa.

Ketiga, habituasi atau pembiasaan adalah cara yang tak kalah pentingnya. Karena membaca menulis itu hanya perkara habituasi maka keduanya tak ada kaitanya dengan skill dan aktivasi bawaan sejak lahir. Membaca menulis sejatinya hanya aktivitas yang harus dibiasakan, titik. Keempat, passion yaitu sebuah cara untuk memilih jalan hidup. Minimal membaca dan menulis itu bisa membawa dampak bagi lingkungan sekitar terutama dunia maya yang minim bacaan.

Dengan orang mengamalkan jurus berliterasi tersebut berarti kita turut serta dalam mengikis provokasi, tidak mudah diadu domba, dan caci maki. Kita justru akan semakin belajar bahwa apapun dalam hidup memiliki dasar yang kuat untuk menjadi alasan mengapa kita harus berada di antara berbagai macam arus kehidupan tersebut. Ayo menulis, terlalu banyak hal baik yang perlu dinarasikan.

the woks institute l rumah peradaban 19/12/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde