Woks
Kamis, 18 November 2021 saya berkesempatan menimba ilmu baru. Secara mendadak Dr. Rizqa Ahmadi meminta saya menjadi moderator pengganti dalam acara Diskusi Buku & Dialog Kebangsaan. Dengan cukup gugup saya pun mengiyakanya karena ini adalah medan belajar. Singkatnya sore itu saya tampil menjadi MC sekaligus moderator dalam memandu acara.
Diskusi buku pada kesempatan ini yaitu berjudul Kontestasi Nalar Keberagamaan Kontemporer: Dari Konstruksi Identitas Menuju Koeksistensi Sosial (2021) yang merupakan karya 6 penulis para penerima beasiswa Kemenag dan PIES Australian National University (ANU). Acara tersebut terselenggara atas kerjasama UIN KHAS Jember, UIN SATU Tulungagung dan IAIN Ponorogo.
Bertindak sebagai Keynote Speaker yaitu Dr. Hepni Zain, MM. (Wakil Rektor III UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember). Pembedah buku yaitu Prof. Dr. Abad Badruzaman, Lc, M. Ag (Wakil Rektor III UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung), dan Prof. Dr. Aksin Wijaya, M. Ag (Wakil Rektor III IAIN Ponorogo). Tak lupa pula 2 diantara 6 penulis buku yaitu Dr. Wildani Hefni, M.A (Dosen UIN KHAS Jember) dan Dr. Rizqa Ahmadi, Lc, M.A. (Dosen UIN SATU Tulungagung).
Walaupun pada acara ini Prof. Abad tidak bisa hadir akan tetapi tidak mengurangi khidmatnya diskusi buku. Bahkan dalam acara ini penanya mendapatkan apresiasi berupa buku gratis dari penulis. Beberapa poin yang saya catat dalam acara ini di antaranya:
Pertama, setiap narasi yang ingin menghadirkan moderasi beragama atau bercita-cita ingin menegakan kedamaian mereka layak disebut anak cucu al Ghazali. Dalam bahasa Gus Ulil anak cucu al Ghazali lah yang justru menepis badai bahwa Islam mengalami kemunduran karena tasawuf. Maka dari itu para sarjana yang ingin menyuguhkan Islam ramah adalah jawaban atas tuduhan itu.
Kedua, peran penerbit LKiS menjadi bukti corak berpikir inklusif dari kalangan anak muda NU. Saya kira bahwa rerata alumni ANU yang berguru kepada para pakar di antaranya Prof. James Fox, Prof. Greg Barton, Prof. Greg Fealy, Prof. Virginia Hooker, dan Dr. Sally White merupakan orang-orang dengan pemikiran terbuka. Hal ini pula yang menjadikan keilmuan menjadi luas dan penuh kajian yang bergairah.
Ketiga, sejatinya kita ingin melawan stigmatisasi yang kadung melekat pada Islam terutama pasca tragedi WTC 20 tahun silam. Kita mencoba untuk terus melakukan kerja-kerja akademik salah satunya diskusi, dialog kebangsaan dan penelitian. Khazanah keislaman sangatlah luas dan jauh dari kesan keras dan menyeramkan salah satunya melalui fikih moderasi. Ini juga sekaligus upaya kampanye dari para sarjana muslim khususnya dari Indonesia.
Keempat, bahwa Islam sejak awal memiliki kecenderungan untuk menyatukan, damai dan menyejukkan. Jadi yang ingin memecah belah sesungguhnya bukan ajaran Islam, ungkap Dr. Hepni Zain, MM.
Kelima, kata Prof. Aksin untuk meneliti sesuatu awali dengan keraguan setelah itu merumuskan masalah, memilih teori dan deskripsi teori sebab selama ini banyak ketidakpaduan antara ketiganya. Keraguan itu penting karena ia menjadikan kita menemukan kebenaran. Orang ragu bukan bodoh melainkan karena melihat dari ragam sudut pandang. Dalam meneliti seharusnya kita harus menjadi orang lain dalam menilai tersebut. Dalam meneliti jangan sebatas melihat fenomena akan tetapi lihatlah nomena yang menjadikannya fenomena.
Demikianlah beberapa hal menarik yang saya catat dalam acara ini. Saya atas nama pribadi mengucapkan terimakasih kepada pihak penyelenggara dan bersyukur atas pengalaman yang tak ternilai ini. Semoga hari esok diberikan kesempatan dalam acara serupa yang tujuannya tak lain adalah belajar.
the woks institute l rumah peradaban 3/12/21
Komentar
Posting Komentar