Langsung ke konten utama

Tradisi Literasi ala Gus Baha




Woks

Sebagai muhibbin Gus Baha tentu saya punya kewajiban menuliskan segala hal baik tentang beliau. Tentu kebaikan itu terekam dalam setiap ceramah-ceramah beliau dalam sebuah acara. Mengapa kita perlu menuliskan dawuh-dawuh ulama setidaknya kita berkaca pada kasus yang menimpa Imam Abu Laits yang mashur itu. Beliau dalam sebuah riwayat adalah orang yang lebih alim alamah daripada Imam Malik muallif Kitab Muwattha. Imam Abu Laits adalah korban disia-siakan ilmunya oleh para pengikutnya karena tidak ditulis.

Di sinilah mari kita mulai menuliskan apa yang diketahui dari cara dakwah Gus Baha. Jika kita mengikuti ngaos Gus Baha baik tematik kajian kitab secara serius maupun ceramah di berbagai undangan tentu beliau membawa ciri khas tersendiri dalam cara penyampaiannya. Misalnya yang saya catat di antaranya :

Ketika ngaji di rumah maupun di forum umum, Gus Baha selalu tampil asri baik itu dari cara beliau berjalan, bersikap hingga berbusana. Tentu yang akan kita ingat dari beliau adalah ke khasanya yaitu kopiah hitam agak jambulan, kemeja putih, jam yang di tangan serta sarung nan sederhana.

Beliau juga selalu membawa kesan gembira dalam setiap ngajinya. Tentu kegembiraan ngaji itu sanadnya dari orang tua beliau KH. Nursalim dan bersambung kepada guru-gurunya Mbah Moen, Mbah Zubair, Mbah Faqih illa akhirihi. Menurut Gus Baha, orang desa itu sudah sumpek dengan segala problema hidup maka dari itu ngaji jangan sampai nambah-nambahi beban pikiran mereka. Ngaji harus riang gembira, inna min khiari ummati qouman yadhabuna jahron minn saati rahmatillah.

Dalam setiap pengajian misalnya peringatan haul seorang tokoh Gus Baha selalu berusaha menghadirkan karya berupa kitab. Bahkan beliau sering merasa aneh dengan tokoh besar yang tidak memiliki karya tulis. Pastilah dalam setiap kesempatan tokoh tersebut minimal memiliki catatan berupa manuskrip dan inilah tugas para penerusnya. Jadi mengkaji tokoh akan lebih dekat jika lewat karyannya.

Jangan lupa selain hamilul qur'an Gus Baha juga sosok pembaca ulung. Salah satunya beliau sering sekali menunjukkan kitab lengkap dengan sanad dan mushohihnya. Bagi Gus Baha pembacaan terhadap kitab-kitab karya ulama sangatlah penting. Karena zaman sekarang orang sudah ngawur dan selangkah meninggalkan sanad. Padahal dalam urusan mempelajari agama harus ada ketersambungan sanad yang kuat agar agama ini dipahami bukan sekarep dewe tapi berdasar wahyu yang telah dikristalisasi menjadi ajaran sejak zaman nabi terdahulu hingga kini.

Gus Baha dalam ceramahnya tentu selalu menyebut nama ayahnya, gurunya atau siapapun yang telah berkontribusi dalam pengetahuan beliau. Hal itu seperti yang telah dicontohkan oleh Sayyidina Ali bahwa segala sesuatu harus disandarkan kepada guru. Gus Baha tidak ingin jika kealimanya adalah murni pikirannya sendiri padahal alimnya itu ditopang oleh para guru beliau yang luar biasa. Maka dari itu kata Gus Baha syarat jadi orang alim itu harus punya guru murid yang juga alim misalnya Ibnu Hajar al Asqolani punya murid Abu Zakariya al Anshori dan beliau punya murid Ibnu Hajar al Haitami.

Gus Baha selalu mengatakan jika beliau mau diundang karena alasan sepuh. Artinya jika tak ada keterkaitan sepuh dan keluarga Gus Baha akan sangat sulit dihadirkan. Hal itu adalah cara beliau sebagai seorang dengan kapasitas super padat bahwa ngaji itu harus serius. Karena beliau bukan orator maka ngajinya biasanya sebentar. Gus Baha hanya ingin masyarakat mengerti apa pendapatnya merupakan bagian dari ilmu bukan sombong.

Yang paling mengesankan tentang Gus Baha tentu setidaknya dua hal. Pertama, beliau selalu memberi pengetahuan yang anti meanstream sehingga kita orang awam akan mendapat pengetahuan baru. Memberikan pemahaman dengan cara mengulang-ulang dawuh juga bagian dari memahamkan umat. Karena kata Gus Baha umat ini sudah malas mikir. Maka orang menghindari perkara yang njilemet itu orang pintar.

Kedua, beliau pembela kaum akar rumput. Salah satunya ketika banyak di antara amaliah kita misalnya kaum Nahdliyyin yang selalu dibidahkan, diharamkan hingga labeling syirik beliau tampil dengan serangkaian yang argumentatif. Beliau bahkan sering menunjukan jika apa yang dilakukan warga Nahdliyyin bahkan sudah sesuai dengan para pendahulunya yaitu ulama. Misalnya tradisi tahlil yang diharamkan itu aneh, orang yang 70 tahun kafir ketika baca syahadat itu langsung hilang kekafiranya lha ini orang yang tiap hari baca kalimah tahlil kok tiba-tiba jadi kafir itu kan aneh, madzhab apa kalo gitu.

Tentu sebagai seorang mufassir faqih dan hamilul qur'an Gus Baha adalah orang yang sangat sederhana. Karena cita-citanya ingin jadi wali maka beliau sendiri selalu mendeklarasikan bahwa jadi wali itu mudah. Beliau juga bisa sangat mudah diterima oleh banyak kalangan baik orang desa maupun akademisi di kampus. Rasanya masih panjang narasi yang perlu dicatat dari beliau maka di sini dulu saya menuliskanya. Semoga lain kesempatan bisa disambung kembali. Bahwa Gus Baha tidak sekadar fenomena tapi nyata sebagai oase di tengah kaum urban yang ingin belajar agama. Sehat terus Gus....

the woks institute l rumah peradaban 20/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde