Langsung ke konten utama

Piknik Ke Buku




Woks

Warna akan pudar, kuil akan ambruk, kerajaan akan runtuh, namun kata-kata bijaksana akan abadi. - Edward Thorndike

Kata mutiara dari Edward Thorndike tersebut membuka tulisan ini sebagai motivasi utama untuk kita tetap dalam pejuang literasi. Tentu kata-kata tersebut tidak lahir dari ruang hampa melainkan melalui penempaan panjang penuturnya. Salah satu penempaan itu adalah lewat membaca. Mari langsung saja kita menuju perpustakaan untuk bertamasya ke buku sebagai salah satu cara menempa diri menemukan pencerahan.

Tulisan ini mengajak kepada kita semua untuk piknik ke buku. Dalam buku tersebut terdapat tempat wisata yang menyenangkan dan gratis tiket masuknya. Anda cukup meluangkan waktu dan melawan kemalasan. Dalam buku tersebut terdapat kata-kata indah seperti pemandangan dalam kata pembuka di atas. Selain itu dari masing-masing buku tentu memiliki fasilitasnya tersendiri.

Ada buku yang ingin mengajak pengunjungnya menyelami dunia hikmah yang penuh dengan ajaran-ajaran ruhani. Ada buku yang mengajak pengunjungnya berkeliling menjelajah pemikiran-pemikiran para tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Karl Marx, Sigmund Freud, Napoleon Hill, Al Afghani, Rasyid Ridho, M. Abduh, Sayyed Hosen Nasr, Yusuf Qardawi hingga Yuval Noah Harari. Ada juga buku yang menyingkap sejarah masa lalu seperti sejarah Yunani kuno, sejarah umat manusia, tarikh para Nabi hingga analisis sejarah masa depan.

Tidak hanya itu buku juga bisa mengajak melayangkan pikiran pembacanya menuju ke daya cipta akal yaitu budaya dan teknologi. Buku bisa membuat pembacanya emosional, haru dan penuh dengan tawa. Begitu juga ada buku yang menuntun pembacanya menemukan kebenaran, menemukan kesejatian yaitu Tuhan. Begitulah buku memang lagi-lagi telah menjadi sahabat baik untuk kita terus mengunjunginya.

Jika buku-buku hanya sekadar tumpukan kertas maka fungsinya tak akan ada artinya. Sedangkan jika buku dibaca, dihayati, diambil ilmunya, dikritisi dan dipahami tentu ia akan berdampak revolusioner pada diri pembacanya. Dari banyaknya fasilitas yang ditawarkan buku sejatinya ia tengah menuntun kita dalam perjalanan ruhani. Sebuah perjalanan batin yang intim dan tidak diketahui kecuali antara buku dan pembacanya.

Lewat bukulah barangkali kita tengah dijembatani untuk berkomunikasi dengan penulisnya. Bayangkan betapa bangganya ketika kita mampu membaca Sirah Nabawiyah Syeikh Syafiurrahman, Ihya Ulumuddin Imam Ghazali, Futuhat al Makiyah Ibnu Arabi, Matsnawi Rumi, Republik Plato, Il Principe Machiavelli, Davinci Code Dan Brown, Trilogi Buru Pramoedya, Cantik Itu Luka Eka Kurniawan, Psikologi Komunikasi Kang Jalal, Esai-esai Gus Dur, Caping Gunawan Mohamad dll. Kita terasa sangat dekat dengan mereka padahal belum sama sekali berjumpa.

Berpetualang ke dunia buku sebenarnya sangat menarik. Hanya saja kita sudah kadung merasa setengah hati menolak buku untuk dicintai. Padahal kata Najwa Shihab hanya perlu satu buku untuk dicintai. Itu artinya kita hanya perlu membuka hati untuk PDKT lagi dengan buku, misalnya mulai dengan membaca sesuatu yang disukai. Dengan begitu kita turut menepis badai bahwa orang Indonesia tidak sedang memunggungi buku. Walaupun faktanya karena kompleksitas Indonesia tergolong negara dengan literasi rendah urutan 59 dari 60 negara di dunia.

Mengapa harus baca buku atau lebih luas mengapa harus berliterasi? jawabanya sederhana seperti penggalan sajak Najwa Shihab berikut;
Tanpa literasi bangsa jadi kelas teri,
menjadi perundung, pencaci maki dan mudah diprovokasi.
Dengan berliterasi utamanya melalui literasi dasar berupa membaca harapanya orang-orang akan bersahabat dengan buku. Jika sudah bersahabat orang akan berpikir apa mungkin ia rela mencaci maki sahabat yang dicintainya.

Oleh karena itu dengan banyak membaca selain memperkuat eksistensi negara ia juga terus memperbaiki sikap bangsa dari bawah. Membaca membuat orang mengerti akan permasalahannya. Buku akan menjadi pemandu yang akan menunjukkan salah satu dari jalan pencerahan agar manusia kembali beradab. Seketika suatu masyarakat jauh dari buku ia akan asing dan mudah terpedaya dengan paham-paham yang penuh tipuan.

Tanda suatu bangsa yang maju adalah ketika minat baca dan menulisnya tinggi. Sebab dengan membaca dan menulis tingkat kesadaran, tanggungjawab, objektivitas dan kritisnya juga tinggi. Dengan begitu orang tidak cepat berpikir instan dan selalu mengedepankan akal sehat. Jika akal sehat dan hati nurani masyarakat baik maka akan baik pula tatanan dalam kehidupan kita ini.

*Disampaikan dalam acara Enlighment Makrab LPM Aksara di Kampung Tani 15/12/21.

the woks institute l rumah peradaban 16/12/21





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde