Langsung ke konten utama

Tulkiyem




Woks

Suatu hari dalam sebuah pengajian seperti biasanya sosok paruh baya itu sudah berada di markasnya. Ia memang spesialis korah-korah alias bersih-bersih. Markasnya selalu di belakang itulah dia Mbah Tulkiyem.

Di saat orang lain sibuk dengan pengajian beliau justru sibuk di belakang mempersiapkan segala sesuatu untuk tamu dan jamaah. Beliau menjadi pelayan Tuhan dengan jalan yang berbeda: khidmah. Saat orang lain tholabul ilmi beliau selalu ditempatkan di belakang karena bagi sebagian orang beliau itu udik, buta huruf dan memalukan. Hingga akhirnya segala aktivitas itu ia lakukan dengan ikhlas.

Mbah Tulkiyem hidup di daerah selatan tepatnya sekitar Ploso Mojo Kediri. Suatu hari dalam pengajian yang menghadirkan waliyullah Gus Miek (KH. Chamim Djazuli) Mbah Tulkiyem masih saja di belakang sebenarnya beliau ingin juga ikut mengaji. Tapi karena beliau sadar diri akhirnya tetap saja belakang adalah singgasananya.

Dalam keramaian itu seketika Gus Miek menyela dalam ceramahnya bahwa beliau mencium bau Ka'bah dari arah belakang. Singkat cerita dipanggilah Mbah Tulkiyem oleh panitia untuk menghadap Gus Miek. Beberapa jamaah terkaget-kaget mengapa yang dipanggil adalah Mbah Tulkiyem, apa rahasianya?

Kata Gus Miek, "Mbah sampean tahun ini berangkat haji ya". Mbah Tulkiyem pun hanya matuk-matuk (menganggukkan kepala). Acara pun usai dan Mbah Tulkiyem pun pulang. Sesampainya di rumah Mbah Tulkiyem hanya menangis tersedu-sedu hingga anak gadisnya bertanya, "Kenapa Bu kok menangis katanya didawuhi sesuatu oleh Gus Miek". Kata Mbah, "Iya, saya katanya suruh berangkat haji". Anaknya pun tersenyum, "Lha baguskan Bu". "Bagus gundulmu, duit dari mana?", "Oh iya juga ya hehe".

Akhirnya dalam kesenduan itu sang anak menyarankan agar sawah peninggalan ayahnya dijual untuk berangkat haji. Dengan berat hati Mbah Tulkiyem menuruti saran anaknya itu. Singkat cerita Mbah Tulkiyem berangkat haji dengan dihantarkan para tetangga desanya. Karena beliau adalah orang tua renta yang utun (udik) juga buta aksara akhirnya selama di sana beliau hanya membaca, "Ya Allah tepak, ya Allah tepak". Termasuk saat talbiyah pun hanya bacaan itulah yang beliau lafalkan. Hingga akhirnya beliau pulang ke tanah air banyak orang datang untuk memintakan doa beliau. Ternyata do'a yang dipanjatkan sama seperti saat beribadah haji tersebut, "Ya Allah tepak, ya Allah tepak".

Singkat kisah do'a Mbah Tulkiyem mashur di daerahnya sehingga mengundang banyak orang datang meminta berkah do'a dari ibadah haji. Salah satu yang datang ke sana adalah pengusaha dari Kediri kota. Beliau datang secara langsung karena penasaran dengan Mbah Tulkiyem. Ketika di sana beliau berbincang dan akhirnya meminta do'a. Mbah Tulkiyem sesuai dengan kemampuannya berdo'a, "Ya Allah tepak, ya Allah tepak".

Tetiba anak gadis Mbah Tulkiyem yang hafal Qur'an itu menyuguhkan minuman kepada tamu pengusaha tersebut. Hingga akhirnya si tamu tersebut merasa tertarik untuk menjodohkan anak Mbah Tulkiyem dengan putranya. Akhirnya pengusaha emas Kediri itu pun berbesan dengan Mbah Tulkiyem.

Inilah kisah singkat tentang seseorang yang sederhana lalu diangkat derajatnya oleh Allah. Allah mencintai hambanya karena sabarnya. Dia juga bisa saja mencintai hambanya karena lomanya (dermawan) akan tetapi Dia pasti mencintai hambanya karena keikhlasannya. Jadi ikhlas itu suatu sikap yang luar bisa. Tuhan akan selalu mengapresiasi mereka yang berlaku ikhlas. Perlu diingat bahwa tanpa keikhlasan ibadah sebanyak apapun tak ada artinya. Lebih baik sedikit tapi Istiqomah daripada banyak tapi tidak rutin.

*Disarikan dari ceramah KH. Imam Hambali (dalam rangka Haul Mbah Ilyas ke-37 Pondok Al Mishbar Karangnongko Mojokerto)

the woks institute l rumah peradaban 10/12/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde