Langsung ke konten utama

Anak Yatim Sejati




Woks

Suatu hari ketika kami jalan-jalan santai untuk olahraga pagi. Seorang anak datang dan dia langsung memegang tangan ku. Lama sekali ia memegang tangan dengan erat hingga akhirnya aku bertanya. "Nak, ndak kamu lepaskan peganganmu itu aku pegal-pegal". Lantas anak itu langsung menjawab, "Pak aku yatim lhoo, ayah ku sudah lama meninggal". Dari jawaban tersebut aku jadi sadar ohh ternyata memang seperti dugaan ku sejak awal.

Lalu dari cerita tersebut akhirnya aku menasehati anak tersebut. Aku teringat pesan indah dari KH Djamaluddin Ahmad Tambakberas lewat salah satu pengajiannya. Beliau menukil kalam hikmah Imam Syafi'i ra yaitu;

Ù„َÛŒْسَ الْÛŒَتِÛŒْÙ…ُ الَّØ°ِÙŠْ Ù‚َدْ Ù…َاتَ ÙˆَالِدُÙ‡ُ بَÙ„ِ الْÛŒَتِÛŒْÙ…ُ ÛŒَتِÛŒْÙ…ُ الْعِÙ„ْÙ…ِ Ùˆَ الأَْدَبِ

Anak yatim bukanlah yang meninggal orang tuanya, tetapi yatim yang sesungguhnya adalah yang tidak memiliki ilmu dan adab.

Kiai Djamal menjelaskan apa yang disampaikan Imam Syafi'i bahwa yatim sejati bukanlah yang ditinggal mati kedua orang tuanya. Yatim sejati adalah ketika seorang anak tidak memiliki ilmu dan adab. Alasannya sederhana bahwa ilmu itu seperti orang tua dan adab seperti ibu. Maka dari itu seorang anak jika memiliki ilmu dan adab tanpa kehadiran orang tua pun tak jadi masalah. Karena ilmu akan jadi penerang sedangkan adab menjadi pedoman. Ilmu dan adab akan menjadi juru kemudi untuknya di jalan kebaikan.

Kiai Djamal juga menegaskan bahwa setelah memperoleh Ilmu, adab, barulah hafal Qur'an dan sarjana. Intinya bahwa peran ilmu dan adab adalah sangat vital. Maka dari itu orang berharga karena ilmunya. Orang bernilai karena adabnya. Tanpa ilmu dan adab seseorang bisa saja disebut yatim sekalipun orang tua biologis nya masih lengkap. Maka jika merujuk pada pendapat Imam Syafi'i di zaman ini terlalu banyak anak yatim selain ditinggal orang tua biologis juga ditinggal orang tua rohani yaitu ilmu dan adab.

Nasihat ku pada anak itu tak lain dalam rangka menguatkan mentalnya. Juga memberikan pemahaman pada pikirannya agar ia mampu menerima segala kondisi tak menguntungkan tersebut. Aku yakin dengan begitu ia akan sadar bahwa hidup sudah diatur oleh Allah SWT termasuk persoalan keluarga. Ingat bahwa kematian adalah keniscayaan sehingga siapa saja akan mengalaminya.

KH Mahrus Ali Lirboyo menyebut kematian sebagai "babul maut" atau seperti pintu dan setiap orang akan bergantian memasukinya. Buya Syafi'i Ma'arif bahwa kematian hanya soal menunggu giliran saja. Maka dari itu tak usah risau dan resah setiap orang sedang berproses menuju ke sana. Terakhir intinya jangan sampai kita disebut yatim sejati. Cukuplah orang tua pergi tapi ilmu, amal, adab menjadi bekal untuk hidup dan mendoakan mereka. Sungguh hubungan ruhaniah anak dan orang tua tak akan terputus jika berdasarkan pada ilmu dan adab.[]

the woks institute l rumah peradaban 13/5/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde