Langsung ke konten utama

Kata Bapak : Warisi Terus Apinya




Woks

Salah satu pesan bapak yang terus saya pegangi sampai saat ini adalah mewarisi api. Entah apa maksudnya yang jelas sejak menginjakkan kaki di kota Marmer pesan tersebut sedikit demi sedikit mulai dipahami. Lambat laun saya mengerti barangkali bapak memang pengagum Bung Karno yang mengatakan pesan serupa.

Kata Bung Karno, warisi apinya jangan abunya. Maksud dari api tersebut tak lain adalah segala sesuatu yang bersifat positif. Api itu adalah jelmaan dari sikap bijak, semangat, pantang menyerah, rajin dan cerdas serta nasionalisme. Api dalam versi Bung Karno adalah semangat untuk mengisi kemerdekaan. Karena kita tahu tanpa api semangat sejarah kemerdekaan tak pernah direngkuh. Seperti halnya air, api adalah tanda peradaban. Api adalah tanda kehidupan. Ketika masih ada api walaupun sepercik maka bisa berfungsi membakar. Entah membakar kemalasan atau kebodohan. Yang jelas nilai filosofis api selain keberanian adalah tanda dinamis.

Berbeda dengan abu, di mana hanya sisa pembakaran. Abu bersifat statis dan mati, tidak produktif serta pasrah. Orang Jawa sering menyebut abu sebagai kekalahan padahal rumusnya tidak ada kata kalah yang ada menang atau mati. Dari pesan itu nyatanya saya mempraktekkannya. Saya merasakan bahwa aliran api sejak disulutkan oleh bapak belum padam hingga hari ini. Belum lagi api semangat, dorongan, motivasi serta doa dari para guru melengkapi segala hal untuk berjuang di kota orang.

Api ketika sudah membakar memang akan menjalar. Jika hal itu bersifat positif maka akan ada pembakaran positif lainnya yang lebih luas. Dengan api segala yang gelap akan tersinari. Dengan api yang mentah menjadi matang. Dengan api yang keras menjadi leleh alias cair. Serta masih banyak lagi peran dan fungsi api bagi kehidupan. Singkat kisah ketika itu saya tidak berpikir bisa lanjut kuliah. Akan tetapi bapak berpesan jika sudah rezeki pasti tak kemana. Akhirnya benar juga saya bisa menyelesaikan S-1 dengan modal tekad semangat. Saya lulus tepat waktu dan tentunya masih berpikir untuk melanjutkan ke jenjang magister.

Saya vakum 1 tahun pada saat itu untuk tidak disebut ingin segera menyerah. Lagi bapak datang memberikan motivasi jika ingin lanjut kuliah tetaplah untuk merawat api. Karena jika pun tidak tersampaikan maka kita masih tetap mewarisi bara api belajar. Orang yang masih bergelora api belajarnya maka akan tetap menjadi pembelajar walaupun dunia formal belum didapat. Akhirnya selama 1 tahun vakum itu saya masih semangat merawat api. Saya masih konsisten menulis, membaca dan berdiskusi seperti biasa. Tujuannya sederhana yaitu jika bisa saya melanjutkan studi lanjut. Jika tidak maka saya akan terus menjadi pembelajar kultural yang belajar tak kenal ruang.

Kisah berubah, sejarah menjawab. Saya pun bisa melanjutkan ke jenjang magister. Salah satunya berkat berpegang teguh pada pesan bapak yaitu merawat api. Saya paham bahwa api adalah sebuah upaya untuk konsisten dengan apa yang dicita-citakan. Api adalah amunisi untuk seseorang berperang berjuang, menang. Api adalah keistiqomahan bahwa jodoh tak akan kemana. Kata Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah tidak usah dikejar jika sudah jalanya maka Allah akan memperlancar. Saya akan selalu ingat untuk terus merawat api. Jangan sampai padam dan terus memberikan ruang cahaya optimisme.

the woks institute l rumah peradaban 20/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde