Langsung ke konten utama

Semesta Adab Pada Olahraga




Woks

Saya meyakini bahwa hidup tak pernah jauh dari setidaknya tiga hal; agama, seni dan olahraga. Agama hadir di ruang kepercayaan bahwa ada dzat yang lebih besar dari manusia. Seni hadir di sebuah ruang keindahan dan olahraga hadir sebagai bentuk kebudayaan manusia. Ketiganya bersatu padu saling berkaitan satu dengan lainnya.

Di Indonesia agama menjadi hal utama. Tanpa kehadiran agama hidup jadi pincang. Karena bagaimanapun juga agama tidak sekadar sistem kepercayaan tapi kepercayaan itu sendiri yang mengatur bagaimana berhubungan dengan Tuhan. Sedangkan seni dan olahraga menjadi bagian horizontal antara sesama manusia. Tapi apakah ada relasi antara nilai agama dan olahraga tersebut. Jawabannya, ada.

Salah satu konten utama orang beragama adalah keyakinan pada Tuhan. Hal itu juga sudah dibentuk berdasarkan cara ibadah, sosialisasi, dan akhlak. Ragam itulah yang juga bisa ditemukan dalam perhelatan olahraga. Sudah pasti dalam hidup ini menyediakan seni sebagai estetika, etika dan etiket. Agama mewadahi itu semua selama tidak bertentangan dengan syariatnya.

Di sinilah saya selalu belajar pada kontingen Indonesia yang bertanding dalam kejuaraan olahraga. Yang sedang berlangsung yaitu event Sea Games XXXII di Kamboja. Indonesia itu bukan negara Islam akan tetapi warga bangsanya sangat Islami. Saya bicara Islam dan Indonesia menunjukkan hal itu. Misalnya mereka tidak malu untuk menunjukkan sebuah identitas keagamaan seperti kerudung, sujud syukur, berdoa, salaman, mencium tangan guru (coach), melempar senyum, dan saling bermaafan. Dari hal sederhana tersebut jarang sekali kita temukan di negara lain. Bahkan, Malaysia dengan mayoritas penduduk Muslim pun identitas keagamaannya tidak begitu menonjol.

Menurut saya sikap yang dicontohkan atlet Indonesia tak lain merupakan pengaruh dari agama. Ajaran agama menjadi dimensi bebas ruang sehingga lebih menjangkau secara luas. Tradisi Timur juga menjadi ciri khas atlet Indonesia sekaligus menunjukkan identitas bahwa kita adalah bangsa yang ramah. Inilah asas yang lebih dalam dari sekadar fair play. Dengan demikian saya selalu senang dengan atlet Indonesia yang tanpa malu menunjukkan sikap baiknya. Mereka tak pernah ragu berpegang teguh pada ajaran agamanya sekalipun di ruang olahraga. Sungguh etika atau adab memang berlaku di manapun termasuk di arena olahraga.

the woks institute l rumah peradaban 11/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde