Langsung ke konten utama

Sholeh itu Karena Faktor Ibu




Woks

Kita masih membincang Nabi Nuh salah satunya mengapa putranya Kan'an tidak ingin ikut dalam perahu. Singkat kisah Kan'an tidak selamat dalam bencana besar air bah tersebut. Dalam riwayat Nabi Nuh memang memiliki 2 orang istri. Keduanya memiliki perbedaan yaitu kurang sholehah dan satunya sholehah.

Istri pertama bernama Shofura dan melahirkan 6 anak, masing-masing 3 putra dan 3 putri. Dari 6 anak tersebut mereka tumbuh besar dan menjadi anak yang sholeh sholehah. Sedangkan istri yang kedua adalah Will'ab binti Ajwil, yang melahir Kan'an, Balus hingga keturunannya sampai raja Namruz. Kita tahu Namruz justru menjadi musuh Nabi Ibrahim AS padahal ia masih keturunan Nabi Nuh.

Tidak hanya Nabi Nuh, Nabi Ya'kub pun bernasib sama. Nabi Ya'kub memiliki anak 7 dari istri pertama dan keturunannya melahirkan bangsa Yahudi. Sedangkan dari istri kedua melahirkan Yusuf dan Bunyamin. Kisah tersebut tentu mashyur di mana 7 putra Nabi Ya'kub justru menjadi hatters pada Nabi Yusuf. Semua itu tak lain karena mereka lahir dari ibu yang kurang sholehah.

Cerita tersebut disampaikan oleh KH Djamaluddin Ahmad Tambakberas. Kata beliau faktor ibu itu sangat menentukan. Karena bagaimanapun tirakatnya bapak akan kalah oleh tirakatnya ibu. seperti contoh para nabi tersebut karena istrinya kurang sholehah maka melahirkan anak turun yang kurang sholehah. Sedangkan kadang-kadang bapaknya orang biasa atau kurang sholeh justru karena istri sholehah maka anak turunnya pun sholeh.

Maka dari itu untuk melahirkan anak turun yang baik harus diperhatikan pula siapa yang akan menjadi calon ibu. Tidak salah jika Nabi Muhammad SAW memberikan tips agar memilih kriteria berdasarkan agamanya sedangkan kecantikan, kekayaan dan nasab justru menjadi nomor sekian. Ibu adalah perempuan dan mereka menjadi pilar agama negara. Jangan sampai gegabah dalam memilih calon ibu karena faktor perempuan lah menentukan masa depan.

the woks institute l rumah peradaban 17/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde