Langsung ke konten utama

Rabithah Pada Guru




Woks

"Guru mu adalah yang kamu kenal bukan yang terkenal" -Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani.

Akhir-akhir fenomena nasab dari seorang habaib dan ulama terus dipertanyakan. Maklum saja dunia digital menawarkan hal-hal tersebut. Digitalisasi utamanya lewat medsos mengajari kita untuk pandai berkomentar dan mempertanyakan. Hal itu pula yang menjadi mengkhawatirkan bagi kehidupan khususnya sosial dan agama.

Jika kita amati media sosial kiwari mengenal istilah viral. Istilah tersebut menjadi populer sekaligus mampu menggerakkan syahwat orang untuk berkomentar. Para netizen telah kehilangan tradisi membaca dan mudah terpolarisasi. Bahkan sampai-sampai karena viralitas dan followers seseorang memiliki pengikutnya tersendiri. Dalam konteks dunia hiburan mungkin hal biasa akan tetapi bagaimana dalam hal beragama. Bukankah agama itu dipelajari di pesantren sebagai lembaga tafaquh fiddin. Tapi saat ini media sosial justru menawarkan segalanya.

Soal guru murid saat ini banyak orang menjadi pengikut ustadz seleb. Ustadz seleb adalah sebutan bagi mereka yang berdakwah sesuai kebutuhan pasar utamanya dunia intertainment. Sehingga dari itulah fenomena baru terjadi yaitu orang terkenal menjadi guru. Padahal sesuai kata pembuka di atas bahwa kata Sayyid Muhammad, guru mu adalah yang kamu kenal bukan yang terkenal. Sayyid Muhammad telah mewanti-wanti sejak lama bahwa akan terjadi pergeseran di mana seseorang dengan mudah berguru tanpa selektif mengetahui dari mana nasab dan sanad mengambil ilmu.

Perkara guru murid memang harus diperhatikan dengan saksama. Karena bagaimanapun juga guru adalah faktor keberhasilan seorang murid. Guru seperti dalam Ta'lim Muta'alim berfungsi sebagai juru kemudi, penunjuk jalan dan pendidik jiwa. Maka dari itu hubungan guru murid tidak boleh rapuh lebih lagi terputus. Lantas bagaimana seorang murid agar tetap bersambung dengan gurunya.

Menurut saya sampai kapanpun ilmu kita tergadai dan cara untuk menebusnya yaitu dengan mengunjungi guru. Ada istilah bahwa untuk meng-update ilmu adalah dengan rajin muthala'ah dan keberkahannya dengan berkunjung pada guru. Dengan begitu perkara ilmu akan terus bersambung. Maka jangan sampai kita senang mencari banyak guru jika tidak mampu merawatnya. Kata Gus Candra Malik jagalah guru mu karena esok banyak orang yang merebutkannya. Perebutan di sini berarti akan ada banyak orang yang lebih peduli ketimbang diri kita sendiri.

Dalam tradisi suluk, seseorang memang perlu rabithah dengan guru. Rabithah adalah istilah ketersambungan atau usaha untuk menghadirkan wajah guru dalam hati. Tujuan adalah agar hati seorang murid tidak lalai kepada Allah dan tidak jauh dari perhatian gurunya. Dengan rabithah sekalipun guru telah wafat murid akan selalu mengenangnya bahkan ia akan terus hidup dalam jiwa sanubari. Guru masih akan berfungsi sebagai rem pengendali laku lampah sang murid.

Sekarang sudahkah kita tersadar. Masihkah mau mengganti peran guru dengan kecanggihan teknologi sekalipun. Sungguh peran guru bagi murid tak bisa dibeli dengan apapun. Sangat mungkin jika murid lupa mendoakan gurunya tapi seorang guru akan selalu ingat dan mendoakan muridnya. Inilah bedanya jika hanya sekedar transfer pengetahuan biasa dengan transfer spiritual. Jika murid telah diberikan pengetahuan dan spiritual berarti ia guru sungguhan. Sudahkah kita menemukan guru sejati?

the woks institute l rumah peradaban 6/5/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde