Langsung ke konten utama

Pesan Santri Sepuh Untuk Kemajuan (3)





Woks

Pesan-pesan kembali dilanjutkan kali ini santri sepuh mengajak kita untuk melihat sejauh mana amaliyah selama di pesantren diamalkan. Beberapa hal berikut yang tak kalah pentingnya sebagai bekal menghadapi masyarakat atau minimal untuk pegangan diri sendiri.

Al Qur'an tetap jadi pedoman adalah hal utama. Karena Al Qur'an adalah pusaka yang sudah didawuhkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersama dengan haditsnya. Utamanya di era modern ini tantangan santri adalah soal pengamalan ilmu dan salah satunya perihal al Qur'an. Bagaimana al Qur'an menjadi tuntutan hidup di tengah arus modernisasi. Kata Prof Quraish Shihab jika ingin bercakap-cakap dengan Allah maka bacalah al Qur'an. Al Qur'an adalah sumber kehidupan. Jika seseorang telah jauh dengan al Qur'an maka ia telah kehilangan satu sumber cahaya besar dalam hidup.

Sholawat jadi tuntunan. Selain al Qur'an sholawat kepada Nabi Muhammad SAW menjadi hal utama. Sudah terlalu banyak kitab dan dawuh ulama menjelaskan keistimewaan shalawat. Karena shalawat kepada Nabi Muhammad juga diperintahkan oleh Allah secara langsung lewat firmanya. Al Qur'an menjadi pedoman dan shalawat menjadi tuntunan. Kita tidak bisa bergantung pada amal yang mudah rapuh. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah syafaat Kanjeng Nabi Muhammad dan cara memperolehnya dengan memperbanyak shalawat.

Tradisi membaca kitab dan masyarakat. Tradisi membaca memang sangat diperlukan khususnya santri. Karena bagaimanapun juga perintah dalam firman Allah pertama adalah iqra atau perintah membaca. Membaca tentu diartikan pada buku dan kondisi sosial di masyarakat. Membaca bermakna luas dengan dimensi yang jangkauannya menembus ruang waktu. Hasil dari membaca itulah seseorang menjadi jernih dalam berpikir, bijak dalam berkata dan hati-hati dalam tindakan. Membaca manfaatnya sangat dalam dan luar biasa. Beruntunglah mereka yang memiliki tradisi ini. Sebab dengan membaca tidak hanya menambah pengetahuan tapi membentuk sebuah nilai bernama laku.

Berkhidmah untuk umat. Saya telah mengamati bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ketika diamalkan. Salah satu bentuk pengamalan adalah dengan berkhidmah. Sejak di pesantren kita sudah dididik untuk berkhidmah pada kiai dan pondok. Maka dari itu bagi santri perkhidmatan menjadi sebuah hal biasa dan sebuah keharusan. Orang berkhidmah berarti ada upaya untuk bermanfaat bagi masyarakat. Dalam hal dan sekecil apapun khidmah adalah jalan menuju keridhoan Allah. Kita akan mewakafkan diri hanya demi menegakkan li ila kalimatillah.

Ikhlas, sabar, syukur, nriman. Untuk melengkapi semua pesan dari awal maka perlu agar kita mempersiapkan mentalnya. Mental tersebut adalah ikhlas di mana ini merupakan inti dari ibadah. Setelah itu sabar dan syukur menjadi satu paket tak boleh dipisahkan. Bagaimanapun juga isi kehidupan adalah bersabar atas segala ketetapan dan bersyukur atas apa yang diputuskan. Setelah itu menerima segala kehendak yang Allah telah gariskan. Dengan sifat yang menjelma sikap tersebut insyaallah menjadi bekal kita agar selamat dunia akhirat.

the woks institute l rumah peradaban 10/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde