Langsung ke konten utama

Kata Ibu : Warisi Airnya




Woks

"Jika tidak mampu menjadi jalan raya, jadilah jalan setapak yang menunjukkan pada mata air" -Taufik Ismail

Jika bapak berpesan agar mewarisi api beda dengan ibu. Beliau berpesan agar mewarisi air. Pesan tentang air tentu lebih mudah diterjemahkan daripada api. Pesan ibu tentang air lebih kepada usaha preventif. Bagi ibu air adalah segalanya. Air adalah sumber kehidupan. Mustahil mahluk hidup tanpa air. Maka dari itu selain sari pati tanah manusia juga tercipta dari air. Air adalah saudara tua manusia. Hormatilah sumber air. Sumber air itu bisa orang tua atau guru.

Bagi ibu mewarisi air sangat penting terutama dalam konteks etika. Kata ibu air adalah simbol kerendahan hati. Seorang pelajar atau pendidik harus memiliki sikap rendah hati. Karena dewasa ini banyak orang pintar justru bersikap meninggi, melangit dan tak mau membumi. Maka dari itu belajar rendah hati adanya di pondok pesantren. Di pesantren santri dididik untuk tetap menunduk sekalipun mereka lebih pintar dari kiai nya. Rendah hati adalah sifat air yang selalu mengalir ke dataran terendah dan itulah yang harus dimiliki manusia.

Bicara rendah hati tentu berbeda di dunia formal dan pesantren. Di dunia formal rendah hati mudah tergadai sikap emosional individual. Sudah berapa banyak orang besar, bertitel, berduit atau dianggap sukses malah justru dikuasai arogansi. Sedangkan di pesantren selain kesederhanaan, rendah hati adalah ruh utama. Karena jika tidak rendah hati maka santri akan kehilangan barokah ilmu. Sungguh manusia paling bodoh adalah yang bersikap sombong. Itulah sebabnya ibu mewanti-wanti agar saya tetap menjadi orang sederhana. Orang yang tidak neko-neko dan tetap rendah hati.

Selain air simbol rendah hati ibu juga berpesan tentang jiwa menyejukkan. Bagaimanapun banyak masalah kita tetap dingin seperti air. Maka agama menyarankan agar kita berwudhu. Air itu juga menghidupkan. Jadi jika memiliki cita-cita teruslah disirami. Jika tidak sempat untuk diwujudkan husnudzan saja entah kapan waktunya cita-cita itu akan tumbuh dalam bentuk lain. Terpenting kita sudah berupaya menanam, menyiram dan merawatnya hingga panen.

Kata ibu warisi airnya, jadilah warisi alirannya. Jika air masih mengalir optimisme akan terus tumbuh. Orang di sekitar kita akan terkena dampaknya. Jadilah manusia bermanfaat. Jika hal baik maka kebaikan menjadi jariyah. Begitulah air mungkin nampak sederhana tapi besar peranya. Tanpa air persatuan antara semen dan pasir tak akan terjadi. Air adalah akhlak dan ilmu yang harus mendominasi. Karena isi bumi dan tubuh manusia didominasi oleh perairan. Dari air itu kita belajar akan sesuatu yang prioritas. Sesuatu yang lebih didahulukan karena kebutuhan bukan keinginan.

Kata ibu warisi mata air jangan air mata. Jika jadi sungai maka mengalirlah tapi berprinsip. Jangan hanya sekadar mengalir tapi terbawa arus perubahan. Saat ini di dunia yang penuh tantangan ibu seolah bertanya pada saya di mana aliran air mu, sudahkah aliran air itu bermanfaat bagi setiap orang. Jika air perjuangan itu belum ditemukan, maka temukanlah. Jika engkau bingung datanglah terus pada samudera Tuhan pusat di mana sumber air bermuara. Jika tidak mampu ke sana karena ombak derasnya maka lewatlah sang muara, berwasilah pada kekasihnya telaga Nabi Muhammad SAW. Airnya jernih, dingin dan menyejukkan.

the woks institute l rumah peradaban 21/5/23

Komentar

  1. kayak dalam film animasi Avatar: The Legend of Aang ja nih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde