Langsung ke konten utama

Gus Hormuz : 4 Tahun Aku Mencari mu




Oleh : Woko Utoro

Melihat stori WhatsApp beberapa orang teman badan saya langsung lemas, letih dan tak berdaya. Stori tersebut berisi kabar lelayu bahwa Gus Hormuz wafat. Dari kabar tersebut saya langsung teringat bahwa ada seorang teman yang kuliah ke UIN Tulungagung karena faktor KH Abdul Djalil Mustaqim. Saya pun demikian, salah satu faktornya adalah dititipi pesan oleh Bapak Nurhidayat, SH (Kepala Madrasah di rumah biasa disapa Pak Yayak) untuk menyampaikan salam pada Gus Hormuz.

Singkat kisah salam tersebut mengendap selama 4 tahun. Selama itu saya bingung mencari ke mana. Bahkan sejak awal saya sendiri tidak tahu siapa Gus Hormuz. Pak Nurhidayat hanya memberikan keterangan bahwa Gus Hormuz adalah salah satu putra seorang mursyid. Pak Nurhidayat merasa terkesan saat pertama bertemu Gus Hormuz di Sekretariat PMII Jogjakarta. Saat itu beliau menjadi mahasiswa di UII Jogjakarta. Dari itulah beliau menitipkan pesanya pada saya. Kebetulan juga saya kuliah S-1 mengambil jurusan Tasawuf Psikoterapi. Di jurusan itu saya diajar oleh Gus Syauqi tak lain kakak kandung Gus Hormuz. Anggapan itulah membuat saya mudah untuk menemui Gus Hormuz, ternyata anggapan itu tidak tepat. Saya kesulitan menemukan beliau.

Selama 4 tahun lebih berproses akhirnya sedikit demi sedikit saya menemukan informasi tentang Gus Hormuz. Beliau adalah salah satu putra KH Arief Mustaqim (Pendiri UIN Tulungagung) yang dulunya IAI Singoleksono. Gus Hormuz memang terkenal sulit untuk ditemui. Akan tetapi sangat beruntung misalnya mahasiswa KPI, AFI, PN dan PMII yang pernah bersua beliau. Saya mendapat cerita dari Pak Dede bahwa Gus Hormuz memang lama berada di New Zealand. Bahkan bahasa keseharian beliau di rumah adalah bahasa Inggris. Tidak hanya itu Gus Hormuz juga pernah terlibat dalam pembebasan konflik Poso.

Singkat kata, dahaga itu akhirnya terbalas. Tepat sekitar satu tahun setelah kelulusan di jenjang S-1 saya dipertemukan dengan Gus Hormuz. Pada saat itu beliau turun dari panggung menyalami kami selepas acara launching A.T.I (Anak Thariqoh Indonesia) sebuah komunitas tarekat anak muda yang digagas oleh adik beliau Gus Balyahu. Di momen salaman itulah saya langsung berlari mendekat ke arah beliau seraya menyampaikan salam, "Gus kulo Woko. Gus ngapunten panjenengan wonten salam saking Yayak Indramayu". Beliau menjawab singkat, "Waalaikumsalam, ohh nggeh Yayak Indramayu". Selepas peristiwa bersejarah itulah saya girang. Saya langsung menghubungi Pak Nurhidayat bahwa salam beliau sudah tersampaikan. Maka misi saya usai sudah.

Waktu berlalu saya pun masih mendapat sisa-sisa informasi berkaitan dengan Gus Hormuz. Pada saat itu Gus Hormuz diminta secara khusus oleh Pak Rektor Maftukhin untuk mengajar di kampus UIN. Sayang saya sudah lulus pada saat beliau masuk sehingga saya tidak sempat menimba ilmu secara langsung dari beliau. Bahkan lucunya salah satu mahasiswa jurusan KPI tidak tahu siapa Gus Hormuz ketika saya tanyai. Tapi itu tidak penting, akhirnya saya berkenalan dengan salah satu santri ndalem yaitu Mas Rizal Bojeng. Bahagianya saya pernah diajak Mas Bojeng langsung ke ndalem beliau di Pondok PETA.

Pada acara haul emas ke-50 Pondok PETA Gus Hormuz bersama saudara-saudaranya turun gunung. Kebetulan pada saat haul akbar tersebut tema yang dibawakan adalah "Membumikan Adab". Maka saya berpikir mungkin inilah waktu genting di mana para guru kasepuhan itu harus turun sedemikian jauh menyapa kita. Selain itu saya juga mengartikan keinginan Pak Rektor Maftukhin merayu Gus Hormuz agar mau mengajar di kampus. Saya artikan bahwa apa yang dilakukan Pak Rektor Maftukhin tak lain ingin ngalap berkah. Kampus beruntung masih ditunggui oleh salah satu putra pendirinya yaitu Gus Hormuz dan sebelumnya ada Gus Syauqi.

Di sesi akhir, mungkin inilah kisah saya menemukan sosok Gus Hormuz. Padahal dulu saya sempat bertajiyah ketika ibunda beliau, Ibu Nyai Hj Sunshufi sedo tapi mengapa tak sempat bertemu. Saya juga tidak memiliki keberanian untuk bertanya langsung dengan Gus Syauqi atau Gus Balyahu, padahal kami saling kenal. Tapi inilah sejarah. Saya yang hanya dapat sepercik cerita itu saja sudah bahagia apalagi mereka yang tiap hari menimba ilmu pada beliau. Dan hari ini sosok dalam pencarian saya, manusia nyentrik itu sowan menghadap Allah.

Saya tidak bisa membayangkan betapa remuknya hati keluarga, sahabat dan anak murid yang hari ini ditinggal beliau. Tapi saya yakin bahwa beliau hanya pulang dan suatu saat bila sudah tiba kita akan menyusulnya. Kini Gus Hormuz telah menyatu bersama tanah saudara tuanya dan mewangi bersama semerbak bunga setaman. Sugeng tindak Gus, ngapunten kulo. Al Fatihah.[]

the woks institute l rumah peradaban 10/5/23

Komentar

  1. Ada yg kurang kang, knp beliau mnggal? Sy ingin bljar cra Gus hormuz ttg kematian 🙂

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde