Oleh : Woko Utoro
Sejak berita kecelakaan di Tol Cipali itu saya sebenarnya sudah cemas dan was-was. Saya sudah mencium aroma tidak enak terutama pada begawan fikih tersebut. Sebab jika melihat foto-foto yang beredar keadaan beliau termasuk parah. Karena bagaimanapun juga cedera dalam membutuhkan rujukan dan penanganan serius.
Singkat kisah hampir dua pekan sejak kejadian itu saya berharap beliau bisa sembuh kembali. Saat dari Majalengka lalu ke Hasan Sadikin Bandung doa-doa berkumpul, berharap beliau pulih kembali. Akan tetapi takdir berkata lain ketika suasana tenang dan cerah tepat 1 Dzulqo'dah 1444 Hijriyah berita duka itu datang. Setelah sebelumnya sang supir meninggal kini Kiai Azizi juga berpulang. Tentu berita tersebut adalah hal yang tidak ingin segera kita dengar. Kita masih membutuhkan Kiai Azizi untuk terus membimbing dan mengajar utamanya ilmu fikih yang menjadi spesialisasinya.
Kepergian Kiai Azizi tentu sebuah kehilangan besar bagi keluarga, Pondok Barran, Pondok Lirboyo, bagi Nahdliyyin lebih umum lagi bagi alam raya. Karena wafatnya ulama adalah sebuah kerugian yang tak bisa ditambal. Seribu orang lahir pun belum tentu dapat menggantikan satu ulama. Itulah sulitnya menggantikan peran ulama dan kini Kiai Azizi membuat langit menangis dini. Kiai Azizi membuat aktivis Bahtsul Masail sangat kehilangan dan memang beliau meminjam istilah SID sudah menjadi legenda.
Wafatnya Kiai Azizi tentu meninggalkan duka mendalam. Akan tetapi karena beliau orang baik maka testimoni kebaikan datang dari berbagai penjuru. Karangan bunga datang berjejeran menjadi simbol bela sungkawa. Orang-orang memang mengakui ke alim allamah-an beliau terutama dalam mengajar fikih lewat kitab-kitab besar seperti Jam'ul Jawami', Lubb'ul Ushul, Waraqat, hingga Ihya Ulumuddin. Dan orang sealim itu masih menganggap dirinya bodoh, masih menyebut anak petani yang bisanya hanya itu. Beliau katanya tidak pernah mengaji dan semasa mondok hanya mengurusi ternak kiainya padahal santri-santri menyaksikan betapa rakusnya beliau membaca, mutholaah sampai lupa waktu tidur. Atau beliau sering menyebut bakul tewel, tukang jualan es semasa di Lirboyo padahal penguasaan kitabnya luar biasa. Itulah barangkali sikap tawadhu dan kerendahan hati seorang santri sejati.
Di manapun tempat Kiai Azizi yang juga pakar utama, perumus Bahtsul Masail dan Rais Syuriyah PBNU tersebut hanya mengatakan bahwa dirinya bisa seperti saat ini tak lain karena barokah guru-gurunya. Tanpa kehadiran guru-gurunya kepintaran setinggi apapun tak ada gunanya. Kata Kiai Azizi santri manut dan penuh ketaqwaan adalah kunci dibukanya futuh. Beliau mencontohkan banyak orang yang tidak mengerti proses belajarnya akan tetapi karena manut pada guru kini beliau bisa menguasai kitab-kitab besar misalnya KH Marzuki Dahlan tak lain ayah dari guru kinasih beliau KH Ahmad Idris Marzuki.
Itulah adab menimba ilmu di mana awal mulanya selain niat adalah kepasrahan alias manut. Kiai Azizi sering berkisah tentang Nabi Musa yang berguru pada Nabi Khidir. Bahwa Nabi Musa akan diberi ilmu dengan syarat mengikuti petunjuk gurunya. Dan dalam kisah Nabi Musa gagal untuk menjadi murid Nabi Khidir. Di sinilah pentingnya di mana sebelum menjadi pintar seseorang perlu dididik lewat akhlak. Maka dari itu manut pada guru adalah kunci kesuksesan.
Kiai Azizi selain ngalap berkah beliau juga menekankan arti rabithah pada guru dan almamater. Karena rabithah pada guru dan almamater merupakan bentuk ketersambungan baik jasadi atau ruhani. Ada berapa banyak santri yang lupa akan peran gurunya. Ada berapa banyak santri yang malas datang ketika peringatan haul atau acara pondok pesantren dulu. Sungguh momentum tersebut harus dimanfaatkan santri agar ilmunya terus update selain juga proses belajar tiada henti.
Kiai Azizi juga menekankan pentingnya riyadhoh. Beliau sering menukil Imam Ghazali bahwa buah itu jika disiram dan dipupuk akan tumbuh akan tetapi proses rasa buah hanya didapat dari musim yang tepat. Maka dari itu ilmu pun tidak hanya sekadar dicari lalu dikumpulkan melainkan harus diriyadhohi agar bermanfaat dan barokah. Berapa banyak orang mumpuni dalam ilmu akan tetapi tidak bermanfaat bagi umat. Salah satu riyadhoh untuk wushul kepada Allah adalah dengan menjauhi maksiat. Kiai Azizi sering bercerita jika riyadhoh nya Kiai Manab (KH Abdul Karim Lirboyo) adalah dengan meninggalkan keinginan. Misalnya dulu beliau ingin makan tempe lalu beliau tidak jadi makan tempe. Jadi untuk wushul kepada Allah bukan karena ibadahnya yang banyak. Karena banyak ibadah sampai bertitel abid tapi masih menyakiti orang lain sama saja kosong.
Terakhir pesan Kiai Azizi adalah pentingnya santri untuk berkhidmah. Khidmah itulah yang menjadi pesan terakhir beliau sebelum wafat di mana ingin selalu menjadi pelayan ilmu sampai mati. Dan hal itu beliau buktikan kecintaannya pada ilmu, pada Bahtsul Masail, pada Lirboyo dan pada NU. Maka dari itu pesan beliau tidak muluk-muluk yaitu jangan malu berkhidmah di madin atau TPQ, mengajari anak-anak kecil mengaji. Jika kita tahu akan ganjaran orang berkhidmah pada agama Allah dapat dipastikan mereka akan melakukannya sekalipun dengan merangkak.
Selamat jalan KH Azizi Hasbullah, engkau telah banyak memberi teladan pada kami. Husnul khatimah, al fatihah.
the woks institute l rumah peradaban 22/5/23
Komentar
Posting Komentar