Langsung ke konten utama

Heroisme Timnas di Event Olahraga Internasional




Woks

Kita tidak sedang bicara kemenangan Timnas sepakbola U-22 akan tetapi semua atlet dari berbagai cabang yang telah berjuang bagi negara. Ya para atlet pastinya telah berjuang mati-matian demi mengharumkan nama bangsa. Mengharumkan nama bangsa adalah bagian dari amanat bapak bangsa yaitu untuk mengisi kemerdekaan.

Jika diamati perjuangan para atlet memang luar biasa. Mereka berjuang sejak latihan di Pelatnas hingga di kejuaraan. Perjuangan tersebut tentu tidak mudah dan pastinya menguras tenaga. Dalam masa karantina mereka harus jauh dari keluarga dan mengikuti ritme pelatihan. Dari itulah mereka harus dibentuk menjadi pribadi yang disiplin demi tujuan satu mengharumkan nama bangsa.

Atlet memang tidak hanya dituntut berprestasi tapi berjuang memberikan yang terbaik. Ada hal yang lebih penting dari prestasi mendapatkan gelar atau piala yaitu menjaga sportivitas. Bertanding dengan jujur adalah kekayaan tersendiri dan itu lebih baik bagi suatu negara. Buat apa menang jika ujungnya adalah kecurangan. Pertandingan mengajarkan kejujuran setidaknya pada dirinya sendiri dan tertinggi kepada Tuhan.

Perjuangan atlet memang tidak bisa diremehkan. Terutama atlet perempuan yang selalu berkaitan dengan sistem reproduksi. Seperti yang diketahui bahwa atlet perempuan lebih memiliki penanganan khusus dan sangat berbeda dengan laki-laki. Selain atlet perempuan kita juga menyaksikan heorisme atlet berkebutuhan khusus. Jadi dari semangat mereka kita belajar akan arti pengorbanan. Para atlet ketika digelanggang pertandingan berusaha sekuat tenaga demi mencapai asa, juara. Mereka menangis, menahan sakit, terjatuh, tersungkur, berdarah, cedera hingga pingsan semua dilakukan demi negara. Perjuangan yang tak bisa diganjar oleh apapun kecuali harapan dan doa.

Heroisme para atlet diakhiri dengan menyanyikan lagi Indonesia raya. Semangat itulah yang membuat siapa saja haru. Perjuangan dan pengorbanan akan dibayar lunas jika bendera kebangsaan berkibar di tanah orang. Dan kita memang telah membuktikan bahwa di negeri orang sekalipun Indonesia memiliki taji. Kekuatan penuh dan semangat pantang mundur selalu ditanamkan demi merah putih. Semangat inilah yang tidak boleh pada terutama dalam mengisi kemerdekaan.

Selamat buat kontingen Indonesia, kalian juaranya.

the woks institute l rumah peradaban 18/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde