Langsung ke konten utama

Menimbang Pancasila Dengan Karya




Woko Utoro

"Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” -KH. Abdurrahman Wahid

Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Semua orang tahu kecuali mereka yang terus berupaya ingin menggantinya dengan dasar yang lain. Barangkali Pancasila adalah karya terbesar para founding father buat bangsa ini. Jika kita ingat Pancasila digali dari ajaran luhur nenek moyang bangsa Indonesia, kata Bung Karno ketika beliau diminta mempresentasikan oleh KRT. Radjiman Widyodiningrat saat sidang BPUPKI.

Soekarno tentu tidak sendiri dan dasar negara dirumuskan oleh Mohamad Yamin, dan Mr Soepomo beserta panitia 9. Akhirnya dari nilai-nilai luhur yang diusulkan para bapak bangsa itu Pancasila menjadi istilah yang dipakai hingga kini. Kata Bung Karno Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 5 nilai. Nilai itulah yang menjadi pekerjaan kita bersama untuk mewujudkannya.

Setiap tanggal 1 Juni kita akan memperingati sebagai hari lahir Pancasila. Di berbagai instansi pemerintah khususnya pasti akan mengadakan upacara bendera. Sebuah upaya yang terus mengingatkan kita akan peristiwa bersejarah. Jika dimaknai era kekinian Pancasila laiknya kemerdekaan adalah jembatan emas. Sebuah wadah besar yang menuntut agar diisi dengan nilai-nilai yang positif konstruktif. Maka dari itu kita bertanya apa karya yang dipersembahkan buat bangsa ini.

Jika karya kita menjadi warga yang baik hal itu lebih dari cukup. Akan tetapi sebenarnya baik saja tidak cukup melainkan harus ada dinamisasi agar tersebarnya nilai-nilai kebaikan tersebut. Jika para pendahulu telah mewariskan karya maka sejatinya kita pun harus memikirkannya. Maka tidak salah jika manusia terbaik adalah yang mampu bermanfaat bagi sesama. Kebermanfaatan itu harus dimulai dari diri sendiri. Artinya ada sebuah sikap untuk memberi, mempersembahkan bukan meminta lebih atau menuntut. Demikianlah seharusnya menjadi warga negara yang baik. Berpikir apa yang seharusnya kita beri bukan apa yang kita dapatkan.

Jika kita berkaca pada para pendahulu yang totalitas memberikan jiwa raganya buat bangsa ini. Maka setidaknya kita berpikir berkontribusi walaupun nampak sederhana nilainya. Tapi setidaknya hal itu lebih baik. Bahkan Tuhan mengapresiasi dan menghargai pekerjaan kecil akan tetapi dilakukan dengan ikhlas dan kontinyu. Jangan berharap pada hal-hal besar yang ternyata hanya di sangkar angan-angan.

Kita bisa berkaca dari pepatah Jawa, klungsu-klungsu menawa udhu atau diartikan sebagai walaupun sedikit tetapi ikut berpartisipasi. Begitulah menghidupkan ajaran Pancasila kendatipun hanya sedikit akan tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Menjadi tetangga yang baik, saling menghormati, tidak berkata kasar, menjaga kebersihan, empati, menyingkirkan duri, tersenyum adalah sebagian kecil yang harus kita biasakan. Karena bagaimanapun juga Pancasila adalah moralitas yang berdiri di atas semua golongan.

Terakhir salah satu hal menarik dari Pancasila adalah kita belajar pada sila pertama. Di mana dulu di antara rumusan ideologi bangsa tersebut yang paling menonjol dan panas penuh ketegangan adalah soal penghapusan 7 kata, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya”. Para tokoh seperti Bung Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, dan Bung Hatta terlibat diskusi alot dalam menentukan dasar negara perihal keyakinan tersebut.

Di sinilah kerenya kita belajar di mana para pendiri bangsa tersebut tentu sangat paham agama. Di mana mereka mempertahankan sebuah nilai yang sangat prinsipil yaitu "ketuhanan". Bisa dibayangkan jika yang diperdebatkan adalah soal materi maka akan jadi apa bangsa ini. Di sini kita belajar bahwa kendati negara ini bukan negara agama akan tetapi inspirasi utamanya berasal dari nilai agama. Agama menjadi ruh utama dan Pancasila adalah wadahnya. #NKRI harga mati, Pancasila jaya.

the woks institute l rumah peradaban 1 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde