Langsung ke konten utama

Bertamu dan Berilmu




Woks

Beberapa hari lalu agenda sowan saya berlanjut kali ini para dosen yang dituju. Beberapa orang yang masih bisa dijangkau saya datangi. Padahal pada saat itu agenda benar-benar padat merayap. Tapi bagaimanapun juga selama masih bisa maka akan diupayakan untuk tetap bersambung.

Setelah selesai dari kondangan saya langsung tancap gas ke rumah Pak Rizqa Ahmadi. Kebetulan di hari Ahad itu beliau ada di ndalem Plosokandang. Di momen inilah saya tak membuang kesempatan untuk ngangsu kawruh berupa ilmu dan pengalaman. Saya memang senang jika bertamu dan mendapatkan ilmu. Apalagi jika berhadapan dengan dosen yang low profile dan terbuka.

Di rumah Pak Rizqa saya mendapat pengetahuan tentang tasawuf dan perkembangannya. Beliau menjelaskan banyak hal terutama di era modern bagaimana kajian kesufian sangat diminati. Baik di kalangan kita sendiri maupun para akademisi luar negeri. Salah satunya jika menyebut tasawuf berarti berkaitan dengan pendidikan rohani serta pengasah jiwa spiritual. Yang menjadi pertanyaan adalah di mana letak kajian tasawuf yang bersifat praktis.

Manusia modern memang membutuhkan hal yang praktis misalnya bagaimana menyembuhkan stres, mengelola emosi, melepaskan amarah, menghilangkan gangguan jiwa, mengusir galau dll. Problem manusia modern tersebut tentu sangatlah menarik karena memang dewasa ini tasawuf masih dipahami sebagai majelis dzikir biasa. Tasawuf masih merangkak untuk menjadi hal praktis lebih lagi ketika bicara sesuatu yang medis, paliatif dan penyembuhan lainnya.

Sore itu juga setelah dari Pak Rizqa saya langsung bergegas ke rumah Ustadz Nuryani. Kebetulan rumah beliau dekat dan bisa dijangkau. Saya berpacu dengan waktu dan suasana mendung yang ternyata benar saja turun hujan. Di rumah Ustadz Nuryani saya langsung disambut dengan sajian khas lebaran sambil berbuka cerita. Ustadz Nuryani memang terkenal humoris sekaligus satir khususnya berkaitan dengan agama.

Di ndalem beliau saya mendapat dua wedjangan utama. Pertama berkaitan dengan passion. Kata Ustadz Nuryani passion adalah saudara kembar dengan jati diri. Keduanya mirip dan harus segera ditemukan. Kita bisa saja menjadi sama dengan lainnya akan tetapi di antara persamaan harus ada bedanya. Beliau berkisah tentang sepupunya yang kuliah jurusan PAI dan ingin pulang ke Tangerang.

Kata Ustadz Nuryani, jika pulang ke kampung halaman hanya mengandalkan ijazah PAI rasanya akan bersaing dengan orang lain secara ketat. Lantas beliau memberi saran untuk menghafal Al-Qur'an di Lirboyo dan Pare Kediri. Singkat cerita ketika pulang ia langsung dipercaya menjadi imam masjid dan diterima di salah satu sekolah swasta bonafit di sana. Alasan sederhananya karena ia bertitel sarjana PAI plus memiliki keunggulan bidang tahfidz Qur'an serta ilmu pondok pesantren. Hal itulah yang membedakan dengan orang lain. Itulah yang disebut passion, maka jika ingin sukses temukanlah segera jati diri tersebut.

Kedua, filosofi Go, Pride and Win (GPW). Kata Ustadz Nuryani GPW adalah falsafah yang dipegang erat khusus bagi mereka para perantau yang sedang berjuang. Go, kita akan selalu pergi dan beranjak, berusaha untuk tetap berikhtiar. Setelah itu taklukan, kalahkan dengan Pride bertarung. Pertarungan tentu adalah upaya menaklukkan kebodohan, kemalasan, kesedihan dan perasaan lainnya untuk Win menang. Kemenangan harus diraih bagi mereka yang berusaha gigih. Kata Ustadz Nuryani jangan sampai Go, Pride and Lose. Rugi.

Terakhir besok harinya saya berkunjung ke rumah Pak Fauzan di Mangunsari. Di sana kami jagongan gayeng seputar kehidupan. Kendati tidak banyak yang dibahas akan tetapi ada satu pesan sedap dan mengena yaitu, "Seng tenang wae, pokok istiqomah insyaallah bakal temu dalane". Setelah itu besok harinya sore kami ke ndalem Bunda Salamah Noorhidayati. Walaupun tidak berjumpa dengan Abah Zainal akan tetapi kami merasa puas. Banyak kisah yang beliau bagikan pada kami seputar dunia kampus dan perjuangan.

Di sana saya melihat betapa gigihnya perjuangan bunda terutama saat menempuh doktoral di Jogjakarta. Dari itu saya berkesimpulan bahwa rekam jejak bunda sekaligus mematahkan bahwa perempuan tidak bisa melangkah jauh. Nyatanya bunda telah melewati semua dengan jerih payah dan kegigihannya. Di sini saya juga ingat pesan Kang Maman bahwa jika mahluk terkuat adalah laki-laki seharusnya pekerjaan melahirkan ada padanya. Tapi nyatanya melahirkan hanya diamanahkan kepada perempuan.

Sebenarnya saya juga sowan ke ndalem Pak Muntahibun Nafis akan tetapi saya tidak beruntung belum bisa bertemu beliau. Karena Pak Nafis sedang tidak enak badan. Akan tetapi setidaknya saya sudah sampai di rumahnya dan diterima oleh istri beliau. Demikianlah barangkali singkat kisah beberapa hal yang saya dapatkan dari sowan Syawal tersebut. Saya sangat senang selain doa juga mendapat pengalaman dan ilmu dari para beliau tersebut. Semoga kapan waktunya saya bisa berkunjung kembali ke sana dan bergegas menuliskan ilmunya.

the woks institute l rumah peradaban 4/5/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde