Woks
Jaman wis akhir, jaman wis akhir bumine goyang // Akale njungkir, akale njungkir, negarane guncang. Penggalan lagu "Jaman Wis Akhir" karya Emha Ainun Najib sekitar tahun 1990an tersebut memang pas menggambarkan suasana saat ini. Emha Ainun Najib atau disapa Mbah Nun sudah memprediksi sejak lama seperti lagu Nashida Ria "Tahun 2000" bahwa akan terjadi perubahan signifikan dalam segi apapun termasuk moralitas.
Sebagai umat akhir zaman tentu bukan hal aneh. Karena hal itu sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad SAW sejak seribu tahun lalu. Nanti akan ada masanya di mana orang telah meninggalkan ajaran agama. Mereka beragama akan tetapi tidak meyakini ajarannya. Tidak hanya Kanjeng Nabi, tokoh kita seperti Prabu Jaya Baya, Raden Ngabehi Ronggowarsito hingga Ki Ageng Suryomentaram juga memiliki prediksi sendiri akan adanya pergeseran budaya. Walaupun begitu ada satu hal yang harus terus dipegang erat yaitu optimisme atau agama menyebut husnudzan.
Dulu di zaman Kanjeng Nabi, para sahabat yang memiliki anak pasti anaknya tidak jauh dari kapabilitas orang tuanya. Jika mereka ahli ilmu, ahli syair, ahli strategi atau ahli perang maka anaknya tak jauh berbeda dari orang tuanya. Sehingga kealiman masyarakat terdahulu bisa sangat mudah diprediksi dan terkondisi. Selain karena faktor dekat Kanjeng Nabi, saat itu sumber keshalehan masih bisa diakses dengan mudah. Artinya bahwa Kanjeng Nabi sebagai panutan dan penerang masih hidup dan orang bisa bertanya kapanpun pada beliu dan sahabat utama. Berbeda dengan umat saat ini yang sangat jauh periodenya kepada nabi.
Akan tetapi tidak usah khawatir bahwa sampai kapanpun baik buruk akan selalu beriringan. Kuncinya hanya optimis bahwa segala hal dalam hidup bisa saja terjadi. Misalnya di akhir zaman ini orang tuanya hanya petani utun, tak paham baca tulis tapi anaknya menjadi hafidz Qur'an, profesor hingga presiden. Orang tuanya pengayuh becak atau pencari rongsokan, anaknya justru menjadi pengusaha besar, duta negara hingga atlit nasional atau publik figur. Semua hal bisa terjadi bahkan kadang-kadang ada yang menjadi kiai alim alamah.
Hal-hal yang tidak bisa dipungkiri di akhir zaman memang demikian. Karena bagaimanapun juga semua adalah kehendak Allah. Itu tanda bahwa Allah maha sempurna. Mbah Moen atau dalam penjelasan Gus Baha sering menyebut bahwa orang alim juga harus diturunkan di Indonesia agar kesempurnaan Allah tidak milik bangsa tertentu saja. Sehingga segala sesuatu tidak bisa dimonopoli cuma karena etnis suatu bangsa atau genetika nenek moyangnya.
Husnudzan itulah yang melahirkan sikap bahwa hidup tak boleh menyerah. Hidup sudah ada yang mengatur. Tinggal kita saja terus berusaha pantang menyerah. Salah satu usaha tersebut adalah lewat pendidikan terutama bagi perempuan. Mengapa perempuan? lagi-lagi perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Karena perempuanlah sejarah bisa diciptakan dan tentunya lewat keturunannya.
Perempuan memang menentukan. Dari perempuan lah kita belajar misalnya mengapa bukan faktor bapaknya? karena bisa disimak dalam kisah yaitu Nabi Nuh Allaihissalam memiliki Kan'an dari genetika istri yang kurang sholihah. Akan tetapi berbeda dengan Nabi Ibrahim beliau menikahi Siti Sarah lalu melahirkan Nabi Ishaq dan Siti Hajar melahirkan Nabi Ismail. Dari perempuan sholihah lah keturunan yang baik akan dilahirkan.
Agama telah mewanti-wanti sejak lama bahwa perempuan adalah tiang negara. Moralitas perempuan jatuh negara runtuh. Maka didiklah perempuan niscaya zaman akan aman. Niscaya mereka akan memberikan satu generasi yang akan membanggakan. Yang membuat membuat anaknya berhasil atau tidak pertama adalah faktor ibunya sedangkan faktor bapak hanya beberapa saja. Anak sejak dalam kandungan sudah menunjukkan tanda dan tanda tersebut hanya mampu dibaca oleh perempuan. Sungguh seorang perempuan akan mewarisi genetika zaman. Sebuah genetika yang akan memimpin bangsa ini ke depannya.
the woks institute l rumah peradaban 14/5/23
Komentar
Posting Komentar